Ke Toraja

by - December 23, 2008

Tahun 2004, kami sekeluarga bedol desa ke Tana Toraja mengikuti upacara pemakaman buyut saya bernama nene' Kombong. Beliau sudah sangat tua sekali, hingga seluruh rambutnya sudah berwarna putih perak. Saya, bapak, dan Rini, hanya seminggu saja disana, dikarenakan kami harus segera kembali bekerja. Namun, ibu disana sebulan untuk menyiapkan acara hingga ... ya jalan-jalan. Sedangkan Rina dan Dodon (sekarang suaminya) berangkat bareng saya, tapi pulang bersama ibu, alasannya ngawal ibu, padahal ya ben tuwuk mlaku-mlakune.

Foto diatas diambil saat seluruh rangkaian upacara pemakaman telah usai. Upacara itu sendiri memakan waktu hingga 4 hari, yang dihadiri oleh banyak sekali saudara-saudara. Saking banyaknya hingga 30 Lantang yang ada penuh semua. Lantang itu rumah panggung sementara yang terbuat dari bambu untuk tempat tinggal selama upacara. Karena banyaknya saudara yang hadir, saya tidak hafal atau kenal semuanya. Yang dapat saya kenali hanya yang satu garis buyut saja. Sedangkan saudara-saudara yang satu fam atau satu garis keturunan dari Nene' Kila, hanya satu dua yang kenal itupun karena mereka pernah berkunjung ke Malang atau dikenalkan oleh Ibu. Nene' Buyut Kila dapat saya sebut sebagai the founder of Kila.
 Kila berarti Kilat atau Petir.


Contohnya orang yang disamping Rina (adik saya yang memakai kaos merah), saya memanggil dia Om, walau umurnya jauh dibawah saya, bahkan masih dibawah Rina. Tapi karena Ibunya adalah adik kandung Nenek saya maka saya memanggilnya Om. Nenek saya adalah anak pertama dari Nene' Buyut Kombong, sedangkan adiknya nenek tadi adalah yang bungsu, mungkin yang nomor 7 atau 8 gitu. 

Wah, ini belum ruwet, ada anak kecil masih kelas 2 SD, saya seharusnya memanggil dia "nenek". Karena dia adalah anak ke 11 dari seorang laki-laki yang masih ada talian saudara dari Nene' buyut Kombong. Saya sering pusing jika diceritakan mengenai satu persatu saudara yang hadir oleh ibu lengkap dengan pohon silsilah yang sudah demikian melebar dan telah mencapai generasi dari Kila yang kesekian. Tapi saya salut dengan ibu, beliau begitu hafal seluruh saudara-saudara yang hadir, dari cabang keturuan yang mana, anak dari nene' buyut yang mana, merupakan canggah-nya siapa, beuh...

Jadi, saya sudah tidak heran lagi, jika di Malang kedatangan saudara dan memanggilnya tante, padahal usianya masih jauh dibawah saya. Karena ibu berasal dari generasi dari anak pertama dari kake' buyut Kila. Saya pakai istilah kake' buyut walau sebetulnya letaknya jauh diatas buyut, entah canggah entah apa, karena tidak tahu harus pakai istilah yang tepat yang mana. Sedangkan Kake' buyut Kila memiliki banyak anak, sehingga jumlah generasi lebih dulu banyak generasi ke jalur ibu dibanding yang lain. Misalnya jalur ibu sudah sampai canggah, jalur yang lain baru sampai cucu atau cicit. Tidak heran saya harus memanggilnya tante atau bahkan nenek.

Tapi, seminggu di Toraja sangat berkesan. Mengikuti detail upacara pemakaman hingga dimasukkannya jenazah ke dalam goa.
Di Toraja khususnya Rantepao yang bergunung-gunung dan bertebing-tebing, makam letaknya di dalam goa atau batu besar yang dipahat menjadi ruangan. Satu ruangan dapat diisi beberapa jenazah dalam satu keluarga. Hingga berjalan-jalan ke beberapa tempat wisata, tapi tempat wisatanya berhubungan dangan makam. Tak lupa ke rumah saudara juga. 

Ada keinginan untuk kembali ke sana, dengan membawa hari libur yang panjang. Merasakan kembali dinginnya suhu disana, kabut paginya, udara yang masih sangat bersih, kopi toraja-nya, dan berburu souvenir yang cantik-cantik. Satu-satunya khas toraja yang masih saya bisa rasakan di Malang adalah makanan yang terbuat dari sagu yakni kapurung itu juga kalau ibu pas masak papeda dan kopi toraja. 

Oh iya juga tarian Pagelu, tarian untuk pernikahan. Dahulu sebelum menikah, Rina adalah salah satu penari Pagelu yang dimiliki komunitas orang Toraja di Malang Raya. Saya sering melihatnya latihan di rumah atau pentas ketika pernikahan. Tarian ini terlihat simple tapi juga eksotis, apalagi dengan pakaian adat toraja yang penuh dangan manik-manik. Pementasan terakhir Rina dilakukannya ketika pernikahannya sendiri, karena tarian Pagelu hanya boleh dilakukan oleh seorang gadis yang belum menikah.

You May Also Like

1 komentar

  1. lam kenal..
    boleh nih mas cerita-ceritanya tentang toraja plus foto2nya.
    aku lagi bikin cergam (komik) tentang cerita rakyat toraja, tapi aku sendiri kurang mengerti tentang toraja, secara... asalku dari lampung tinggal di jogja
    kalo ada cerita tentang toraja link ke fx_eryanto@yahoo.co.id
    Terimakasih

    ReplyDelete