Saya tidak tahu pasti sejak kapan saya suka ngopi, apa karena turunan orang suka ngopi atau memang kultur orang Indonesia yang rata-rata menyukai jenis minuman satu ini. Yang jelas setiap ada waktu kosong atau ketika menunggu seseorang ataupun ketika rapat, kopi merupakan teman yang menyenangkan. Selain tombo ngantuk, rasanya yang pahit dan gurih memberi sensasi tersendiri.
Saya ingat ketika masih kuliah dulu dan aktif di sebuah organisasi kepecintaalaman, kopi merupakan barang wajib yang selalu ada di setiap kegiatan. Entah itu rapat, Diklatsar, camping, pengarungan sungai, panjat tebing, dan kegiatan outdoor lainnya, kopi dan gula selalu ada dalam tas. Sampai-sampai walau sekedar ngobrol di Warung Lestari belakang kampus, kopi adalah teman setia yang membantu menelurkan ide-ide baru demi perkembangan organisasi. Bayangkan secangkir kopi dapat menemani kami berjam-jam untuk sekedar ngobrol di warung tersebut. Bahkan kita lebih baik tidak makan daripada tidak minum kopi dalam sehari. Pernah saking banyaknya kita minum kopi dan merokok dalam sehari, tangan kami sampai gemetar, dan ternyata bukan hanya saya saja yang mengalaminya, beberapa teman saya juga.
Hingga saya pendidikan untuk bekerja, kopi selalu hadir di dalam kamar, menemani perkenalan dengan orang-orang yang baru saya kenal, bahkan bisa membuat rasa gugup berkurang.
Secara kultur, orang tua saya memang sangat dekat sekali kehidupannya dengan kopi. Walaupun mempunyai selera kopi yang berbeda. Bapak saya orang kelahiran sebuah desa di Kabupaten Trenggalek. Di kampung ayah saya, kopi yang dipakai adalah jenis Robusta, yang disangrai bercampur dengan potong daging kelapa, kemudian ditumbuk tidak terlalu halus, masih kasar. Tapi justru disinilah letak sensaninya, karena bubuk kopi yang bercampur kelapa tadi akan mengambang di permukaan air kopi. Cara minumnya juga dengan menyeruput semuanya bersama bubuk kopi yang mengambang tadi. kemudian sambil meneguknya, kita dapat mengunyak bubuk kopi tadi. Gurih ternyata. Tidak seperti pada saat awal saya minum kopi jenis ini, sedikit susah untuk membuang bubuk/ampas kopi yang mengambang tadi. Setelah diberitahu oleh sepupu saya, ternyata ada kenikmatan tersendiri.
Lain halnya dengan Ibu saya yang asli dari Tana Toraja. Ketika terakhir saya berkunjung ke kampung Ibu saya di Rantepao - Tana Toraja sekitar tahun 2004, tradisi minum kopi sangat mengakar kuat di situ. Kebetulan ketika itu kami datang dalam rangka penguburan Buyut saya yang bernama Nek Kombong, sehingga upacara penguburannya berlangsung selama satu minggu. Dan setiap pagi, kopi sudah selalu tersedia dalam banyak ceret, sehingga mengopi sambil merokok diselimuti kabut pagi merupakan hal yang eksotis dan serasa penuh misteri. Minum kopi bersama banyak saudara (yang saya sangat tidak hapal siapa mereka, karena biasanya kami satu canggah tapi lain buyut) di atas lantang (rumah panggung dari bambu untuk tempat tinggal sementara selama upacara berlangsung, biasanya dibuat melingkar mengepung lapangan yang ditengahnya) merupakan kenikmatan tersendiri, karena suhu pagi hari yang dingin, maklum ketinggian desa itu diatas 2.000 mdpl, kerenkan. Kopi Toraja berwarna hitam pekat, dengan aroma yang kuat sekali. Rasanya tajam di lidah, dan jika belum terbiasa atau jantung kita sedikit lemah, biasanya akan mengakibatkan jantung berdebar-debar. Mungkin kandungan kafeinnya cukup kuat. Hingga saat ini, dirumah orang tua saya di Malang, kopi Toraja selalu tersedia, walaupun tidak banyak, maklum kami mendapatkannya dari saudara atau teman yang baru pulang dari Toraja atau mendapatkan kiriman dari saudara yang berada di Toraja. Tapi karena tingkat kepahitannya, maka takarannya dalam membuat kopi ini tidak sebanyak ketika membuat kopi biasa, ya jadinya lumayan awet-lah.
Saya ingat kemarin, karena setiap Senin subuh saya selalu berangkat kerja ke Surabaya dengan naik motor, tidak lupa saya selalu minum kopi Toraja dulu dengan takaran agak dilebihkan sedikit. Efeknya, sepanjang hari senin saya lebih bersemangat, dan tidak mengantuk karena kecapaian setelah menempuh 2 jam bersepeda motor di pagi hari buta.
Saya ingat ketika masih kuliah dulu dan aktif di sebuah organisasi kepecintaalaman, kopi merupakan barang wajib yang selalu ada di setiap kegiatan. Entah itu rapat, Diklatsar, camping, pengarungan sungai, panjat tebing, dan kegiatan outdoor lainnya, kopi dan gula selalu ada dalam tas. Sampai-sampai walau sekedar ngobrol di Warung Lestari belakang kampus, kopi adalah teman setia yang membantu menelurkan ide-ide baru demi perkembangan organisasi. Bayangkan secangkir kopi dapat menemani kami berjam-jam untuk sekedar ngobrol di warung tersebut. Bahkan kita lebih baik tidak makan daripada tidak minum kopi dalam sehari. Pernah saking banyaknya kita minum kopi dan merokok dalam sehari, tangan kami sampai gemetar, dan ternyata bukan hanya saya saja yang mengalaminya, beberapa teman saya juga.
Hingga saya pendidikan untuk bekerja, kopi selalu hadir di dalam kamar, menemani perkenalan dengan orang-orang yang baru saya kenal, bahkan bisa membuat rasa gugup berkurang.
Secara kultur, orang tua saya memang sangat dekat sekali kehidupannya dengan kopi. Walaupun mempunyai selera kopi yang berbeda. Bapak saya orang kelahiran sebuah desa di Kabupaten Trenggalek. Di kampung ayah saya, kopi yang dipakai adalah jenis Robusta, yang disangrai bercampur dengan potong daging kelapa, kemudian ditumbuk tidak terlalu halus, masih kasar. Tapi justru disinilah letak sensaninya, karena bubuk kopi yang bercampur kelapa tadi akan mengambang di permukaan air kopi. Cara minumnya juga dengan menyeruput semuanya bersama bubuk kopi yang mengambang tadi. kemudian sambil meneguknya, kita dapat mengunyak bubuk kopi tadi. Gurih ternyata. Tidak seperti pada saat awal saya minum kopi jenis ini, sedikit susah untuk membuang bubuk/ampas kopi yang mengambang tadi. Setelah diberitahu oleh sepupu saya, ternyata ada kenikmatan tersendiri.
Lain halnya dengan Ibu saya yang asli dari Tana Toraja. Ketika terakhir saya berkunjung ke kampung Ibu saya di Rantepao - Tana Toraja sekitar tahun 2004, tradisi minum kopi sangat mengakar kuat di situ. Kebetulan ketika itu kami datang dalam rangka penguburan Buyut saya yang bernama Nek Kombong, sehingga upacara penguburannya berlangsung selama satu minggu. Dan setiap pagi, kopi sudah selalu tersedia dalam banyak ceret, sehingga mengopi sambil merokok diselimuti kabut pagi merupakan hal yang eksotis dan serasa penuh misteri. Minum kopi bersama banyak saudara (yang saya sangat tidak hapal siapa mereka, karena biasanya kami satu canggah tapi lain buyut) di atas lantang (rumah panggung dari bambu untuk tempat tinggal sementara selama upacara berlangsung, biasanya dibuat melingkar mengepung lapangan yang ditengahnya) merupakan kenikmatan tersendiri, karena suhu pagi hari yang dingin, maklum ketinggian desa itu diatas 2.000 mdpl, kerenkan. Kopi Toraja berwarna hitam pekat, dengan aroma yang kuat sekali. Rasanya tajam di lidah, dan jika belum terbiasa atau jantung kita sedikit lemah, biasanya akan mengakibatkan jantung berdebar-debar. Mungkin kandungan kafeinnya cukup kuat. Hingga saat ini, dirumah orang tua saya di Malang, kopi Toraja selalu tersedia, walaupun tidak banyak, maklum kami mendapatkannya dari saudara atau teman yang baru pulang dari Toraja atau mendapatkan kiriman dari saudara yang berada di Toraja. Tapi karena tingkat kepahitannya, maka takarannya dalam membuat kopi ini tidak sebanyak ketika membuat kopi biasa, ya jadinya lumayan awet-lah.
Saya ingat kemarin, karena setiap Senin subuh saya selalu berangkat kerja ke Surabaya dengan naik motor, tidak lupa saya selalu minum kopi Toraja dulu dengan takaran agak dilebihkan sedikit. Efeknya, sepanjang hari senin saya lebih bersemangat, dan tidak mengantuk karena kecapaian setelah menempuh 2 jam bersepeda motor di pagi hari buta.