22.00 wib
Awal hari ini, Rabu, seperti biasa saja. Bangun kala adzan Subuh menggema di masjid kampung depan perumahan tempat tinggalku. Mandi, pakaian, sholat, makan, lalu berangkat ke jalan raya depan gang kampung ini. Gak beda, bedanya paling seragam kerja hari ini, hijau-hijau, bukan krem seperti hari kemarin.
Waktu menunggu bis juga sama, 04.45 wib Restu Panda yang dikemudikan Pak Juhari akan lewat, dan berhenti di depan gang untuk mengangkut aku. Begitupun ketika tiba di Terminal Bungurasih Surabaya, vespa strada biruku parkir di parkiran yang sama dengan bayar parkir yang sama, seribu perak.
Tapi hari ini, hari Rabu, anakku Kila, demamnya sudah turun dan sembuh. Kabar dari uminya di pagi hari, 36,7 derajat celcius. "sedang main dengan 2 kelincinya", tambah istriku itu. Hatiku tenang, ucap syukurku menggema dalam ruang hatiku.
petang,
Walau tidak setiap hari, Porong macet, sudah menjadi hal yang lumrah bagi saya, bahkan bukan hanya saya, ratusan atau ribuan orang mungkin seperti saya yang menggunakan jasa bis setiap hari harus mondar-mandir melalui Porong untuk mencari nafkah di Surabaya. Semua sudah biasa.
Tapi kebiasaan hari Rabu berubah ketika bis yang kami tumpangi menaikkan seorang pengamen di Pandaan. Seorang pengamen dengan hem pink yang sedikit lusuh dan memudar warnanya, berkopiah bundar warna putih dengan motif garis-garis hitam menutupi kepalanya. Menenteng sebuah gitar berbentuk bass cello dengan 12 senar, bukannya 6 senar. Tetapi bukan itu yang membuat mata saya tidak beralih darinya. Ia seorang tuna netra. Saya dapat melihat raut wajahnya sangat jelas sekali, apalagi ia tidak memakai kacamata hitam yang jamak dipakai para penyandang tuna netra. Lagu demi lagu ia mainkan dengan baik, sangat menyentuh. Bahkan lagu keempatnya yang berbau religius sangat membangkitkan semangat pendengarnya. Tak ada sedikitpun terbersit kesusahan di raut wajahnya.
Tak habis-habisnya rasa syukur kupanjatkan pada-Nya Sang Khalik, atas semua yang telah diberikan kepadaku. Atas semua kelebihan yang dilimpahkan kepadaku. Dan tidak selayaknya saya mengeluh dalam menjalani kehidupan ini. Betapa malunya diri ini jika masih mengeluh, karena ada yang masih jauh dari kata beruntung dibandingkan saya.
Langkahku ringan sekali ketika membelah jalanan kampung menuju rumah. Rabu biasa ini kututup dengan yang tidak biasa. Karena malam ini aku menulis di meja makan, setelah kupindahkan Kila dari ruang tv ke tempat tidur, dan kuselimuti istriku yang telah tidur sejak ku datang dari kantor, ia flu dan pening.
Selamat bobo Kila, mimpi indah ya nak ...
Selamat tidur cintaku, cepat sembuh ya, semoga Alloh memberikan kesehatan kepadamu, amin.