Siapa sangka reptil lucu, seperti kura- kura Brasil (Trachemys scripta) ternyata juga harus dicermati sebagai spesies asing invasif. Kura-kura jenis ini tergolong bersama virus malaria, jamur chytrid yang sekarang menjadi musuh populer bangsa kodok, eceng gondok, pohon lamtoro gung, keong mas, bekicot, ikan nila, dan monyet ekor panjang dalam daftar 100 spesies yang sangat membahayakan di muka bumi ini.
Kura-kura Brasil ketika masih tukik memang memiliki karapas hijau terang dan garis-garis kuning serta merah dari mata sampai gendang telinga. Tapi warna- warna menarik itu ketika dewasa berubah menjadi hijau gelap dan berpotensi membosankan. “Dan kalau sudah bosan, para pemilik biasanya akan melepaskannya ke alam,” ujar Mumpuni, peneliti bidang zoologi di Pusat Penelitian Biologi, LIPI.
Kura-kura jenis ini diimpor dari habitat alaminya di Amerika Serikat, dari Sungai Mississippi ke selatan sampai Texas dan Teluk Meksiko, berupa tukik karena pada usia itulah warnanya menarik. Kini, mereka yang dewasa diyakini sudah menetap dan berkembang biak di perairan umum di berbagai negara, terutama di Asia, termasuk Indonesia.
Memang belum ada laporan mengenai dampak negatif dari kura-kura Brasil terhadap jenis-jenis flora maupun fauna asli Indonesia. Namun, Mumpuni mengungkapkan, beberapa ekor sudah sering ditemui di perairan umum di beberapa daerah di Jawa, Sumatera, Kalimantan, bahkan Papua. “Di sana hidup pula fauna perairan asli,” kata Mumpuni.
Sebagai catatan saja, kura-kura Brasil ini tergolong tangguh karena dapat hidup pada berbagai habitat perairan, seperti kolam, danau, sungai, rawa, maupun bendungan. Mereka yang bisa berusia sampai 30 tahun mengusung strategi berendam dalam lumpur setiap menembus musim dingin. Kura kura ini hidup dengan memangsa berbagai macam binatang dan tumbuhan atau omnivora, di antaranya ikan, udang, keong, ketam, berudu, cacing, serangga air, dan berbagai jenis tumbuhan air.
Yang juga harus diingat, Mumpuni menambahkan, “Anakan kura-kura ini, meskipun populer sebagai peliharaan, kadang membawa penyakit yang dapat ditularkan pada manusia, yakni salmonella.” (Koran Tempo, 26/05/2009)
Kura-kura Brasil ketika masih tukik memang memiliki karapas hijau terang dan garis-garis kuning serta merah dari mata sampai gendang telinga. Tapi warna- warna menarik itu ketika dewasa berubah menjadi hijau gelap dan berpotensi membosankan. “Dan kalau sudah bosan, para pemilik biasanya akan melepaskannya ke alam,” ujar Mumpuni, peneliti bidang zoologi di Pusat Penelitian Biologi, LIPI.
Kura-kura jenis ini diimpor dari habitat alaminya di Amerika Serikat, dari Sungai Mississippi ke selatan sampai Texas dan Teluk Meksiko, berupa tukik karena pada usia itulah warnanya menarik. Kini, mereka yang dewasa diyakini sudah menetap dan berkembang biak di perairan umum di berbagai negara, terutama di Asia, termasuk Indonesia.
Memang belum ada laporan mengenai dampak negatif dari kura-kura Brasil terhadap jenis-jenis flora maupun fauna asli Indonesia. Namun, Mumpuni mengungkapkan, beberapa ekor sudah sering ditemui di perairan umum di beberapa daerah di Jawa, Sumatera, Kalimantan, bahkan Papua. “Di sana hidup pula fauna perairan asli,” kata Mumpuni.
Sebagai catatan saja, kura-kura Brasil ini tergolong tangguh karena dapat hidup pada berbagai habitat perairan, seperti kolam, danau, sungai, rawa, maupun bendungan. Mereka yang bisa berusia sampai 30 tahun mengusung strategi berendam dalam lumpur setiap menembus musim dingin. Kura kura ini hidup dengan memangsa berbagai macam binatang dan tumbuhan atau omnivora, di antaranya ikan, udang, keong, ketam, berudu, cacing, serangga air, dan berbagai jenis tumbuhan air.
Yang juga harus diingat, Mumpuni menambahkan, “Anakan kura-kura ini, meskipun populer sebagai peliharaan, kadang membawa penyakit yang dapat ditularkan pada manusia, yakni salmonella.” (Koran Tempo, 26/05/2009)