"Kalau Mau Jakarta Lebih Baik Serahkan pada Ahlinya". Ini bunyi sebuah spanduk saat berlangsungnya pemilihan gubernur DKI Jakarta. Sang pemilik jargon, Fauzi Bowo yang akrab disapa Foke, akhirnya terpilih menjadi gubernur. Kini usia kepimpinan "Sang Ahli" sudah berusia tiga tahun.
Foke memang sosok yang akrab dengan ibukota. Pria berumur 62 tahun ini, lahir dan besar di Jakarta. Pendidikannya juga mantap. Dia jebolan arsitektur bidang Perencanaan Kota dan Wilayah dari Technische Universitat Braunschweig Jerman. Program doktornya diambil dari Universitas Kaiserlautern, Jerman.
Jangan tanya perkara pengalaman. Foke berkarier di lingkungan Pemerintah Daerah DKI Jakarta sejak 1977. Di antaranya dia pernah menjadi Kepala Biro Protokol dan Hubungan Internasional, serta Kepala Dinas Pariwisata DKI Jakarta. Bahkan, sepuluh tahun menjabat Wakil Gubernur di masa dua periode kepemimpinan Sutiyoso (1997-2007).
Bahwa Jakarta memiliki sejumlah persoalan yang akut, salah satunya adalah banjir, tentu Foke juga sudah paham. Apalagi riwayat banjir ini memang sudah muncul sejak Jan Pieterszoon Coen membangun Jakarta dengan nama Batavia pada 1619. Waktu itu Coen sudah membuat desain waterfront city (kota air).
Kompeni gagal menerapkan kota air ini. Karena itu, Jakarta dilanda banjir besar pada 1621, 1654, dan 1918. Rupanya kegagalan ini berlanjut terus hingga Indonesia merdeka. Banjir besar terjadi lagi pada 1976, dan 1996. Kemudian pada 1997 banjir menjadi tragedi nasional, sebab terjadi di seluruh kota Jakarta, ribuan orang mengungsi.
Bahkan ketika Foke menjabat Wakil Gubernur, pernah terjadi dua kali banjir besar, yaitu pada 2002 dan 2007. Peristiwa ini lebih buruk dibandingkan dengan tahun 1997. Banjir sudah sampai menewaskan orang dan puluhan ribu orang mengungsi.
Jadi Foke memang seharusnya sudah mengantongi solusi banjir di ibukota. Rasanya, kalau sampai pakar yang turun tangan ibarat mengajari ikan berenang.
Begitu menjadi orang nomor satu di DKI, Foke menyatakan langsung bekerja keras mengendalikan banjir. Bak bertepuk dada, ketika dia mengatakan berhasil membangun Kanal Banjir Timur ke laut di Teluk Jakarta.
Kanal ini panjangnya 23,57 kilometer, dengan lebar 100 -200 meter dan kedalaman 3,7 meter. Bahkan untuk 2010, Pemerintah DKI mengalokasi dana Rp1,677 Triliun untuk membiayai program pengendalian banjir.
Tetapi apa yang terjadi, Jakarta tetap saja banjir. Bahkan ketika hujan turun deras pada 25 Oktober 2010, hampir seluruh penjuru Jakarta banjir. Tentu saja ini membuat warga jengkel. Banyak pemilik jejaring sosial mengecam kepemimpinan Foke.
Di antara mereka ada yang membuat istilah satir "Jakarta Berkumis". Maklumlah, Foke adalah satu-satunya Gubernur DKI Jakarta yang berkumis, sedangkan sebelas gubernur pendahulunya tak satu pun yang memelihara bulu tebal di atas bibirnya.
Foke menanggapi enteng saja kejengkelan warga. Dia bermain dengan kata-kata. Suatu kali dia bilang tak ada banjir di Jakarta. "Itu hanya genangan air. Harus dibedakan antara banjir dan genangan," kata Foke kepada wartawan. "Kalau banjir itu, satu dua hari air di situ. Sedangkan genangan air, itu hanya lewat saja."
Foke benar, memang harus dibedakan antara banjir dan genangan. Menurut Kamus Bahasa Besar Indonesia, banjir itu adalah berair banyak dan deras. Selain itu untuk peristiwa terbenamnya daratan (yang biasanya kering) karena volume air yang meningkat, dalam kamus juga disebut banjir.
Sedangkan genangan, ini dari kata dasar genang yang maknanya terhenti mengalir. Biasanya kata ini untuk hal-hal yang kecil, misalnya "bergenang air matanya mendengar cerita sedih itu." Kalau yang lebih luas, misalnya "tanaman padi menjadi busuk karena tergenang air berhari-hari.
Kendati dalam program kerjanya juga disebutnya banjir, terserah saja kata apa yang hendak digunakan Foke untuk menjawab pertanyaan masyarakat. Tak penting bersilat lidah, sebab warga Jakarta ingin pemimpinnya menyelesaikan persoalan yang sudah akut ini.
Kerugian warga Jakarta sangat besar akibat banjir itu. Bahkan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia memperkirakan kerugian akibat kemacetan dan banjir di Jakarta mencapai Rp 3 triliun, ini untuk hitungan lima hari saja. Karena itu, para penghusaha muda meminta pemerintah DKI Jakarta serius memecahkan masalah banjir dan kemacetan.
Bagaimana Foke menjawab masalah ini? Foke hanya meminta seluruh masyarakat Jakarta mahfum kondisi ibukota. " Saya mohon masyarakat maklum dan paham dengan kondisi ini," katanya kepada wartawan.
Selain itu, setiap bicara banjir, pemerintah pasti menyodori angka rupiah yang dibutuhkan. Kali ini, untuk mengatasi banjir pemerintah DKI butuh Rp 100 triliun. Bahkan, pemerintah DKI yang dipimpin Foke meminta bantuan pemerintah pusat.
Jika demikian, pantaskah Foke mengklaim diri sebagai ahlinya Jakarta?
Sumber : Nurlis Effendi; Foto Antara/Prasetyo Utomo
Foke memang sosok yang akrab dengan ibukota. Pria berumur 62 tahun ini, lahir dan besar di Jakarta. Pendidikannya juga mantap. Dia jebolan arsitektur bidang Perencanaan Kota dan Wilayah dari Technische Universitat Braunschweig Jerman. Program doktornya diambil dari Universitas Kaiserlautern, Jerman.
Jangan tanya perkara pengalaman. Foke berkarier di lingkungan Pemerintah Daerah DKI Jakarta sejak 1977. Di antaranya dia pernah menjadi Kepala Biro Protokol dan Hubungan Internasional, serta Kepala Dinas Pariwisata DKI Jakarta. Bahkan, sepuluh tahun menjabat Wakil Gubernur di masa dua periode kepemimpinan Sutiyoso (1997-2007).
Bahwa Jakarta memiliki sejumlah persoalan yang akut, salah satunya adalah banjir, tentu Foke juga sudah paham. Apalagi riwayat banjir ini memang sudah muncul sejak Jan Pieterszoon Coen membangun Jakarta dengan nama Batavia pada 1619. Waktu itu Coen sudah membuat desain waterfront city (kota air).
Kompeni gagal menerapkan kota air ini. Karena itu, Jakarta dilanda banjir besar pada 1621, 1654, dan 1918. Rupanya kegagalan ini berlanjut terus hingga Indonesia merdeka. Banjir besar terjadi lagi pada 1976, dan 1996. Kemudian pada 1997 banjir menjadi tragedi nasional, sebab terjadi di seluruh kota Jakarta, ribuan orang mengungsi.
Bahkan ketika Foke menjabat Wakil Gubernur, pernah terjadi dua kali banjir besar, yaitu pada 2002 dan 2007. Peristiwa ini lebih buruk dibandingkan dengan tahun 1997. Banjir sudah sampai menewaskan orang dan puluhan ribu orang mengungsi.
Jadi Foke memang seharusnya sudah mengantongi solusi banjir di ibukota. Rasanya, kalau sampai pakar yang turun tangan ibarat mengajari ikan berenang.
Begitu menjadi orang nomor satu di DKI, Foke menyatakan langsung bekerja keras mengendalikan banjir. Bak bertepuk dada, ketika dia mengatakan berhasil membangun Kanal Banjir Timur ke laut di Teluk Jakarta.
Kanal ini panjangnya 23,57 kilometer, dengan lebar 100 -200 meter dan kedalaman 3,7 meter. Bahkan untuk 2010, Pemerintah DKI mengalokasi dana Rp1,677 Triliun untuk membiayai program pengendalian banjir.
Tetapi apa yang terjadi, Jakarta tetap saja banjir. Bahkan ketika hujan turun deras pada 25 Oktober 2010, hampir seluruh penjuru Jakarta banjir. Tentu saja ini membuat warga jengkel. Banyak pemilik jejaring sosial mengecam kepemimpinan Foke.
Di antara mereka ada yang membuat istilah satir "Jakarta Berkumis". Maklumlah, Foke adalah satu-satunya Gubernur DKI Jakarta yang berkumis, sedangkan sebelas gubernur pendahulunya tak satu pun yang memelihara bulu tebal di atas bibirnya.
Foke menanggapi enteng saja kejengkelan warga. Dia bermain dengan kata-kata. Suatu kali dia bilang tak ada banjir di Jakarta. "Itu hanya genangan air. Harus dibedakan antara banjir dan genangan," kata Foke kepada wartawan. "Kalau banjir itu, satu dua hari air di situ. Sedangkan genangan air, itu hanya lewat saja."
Foke benar, memang harus dibedakan antara banjir dan genangan. Menurut Kamus Bahasa Besar Indonesia, banjir itu adalah berair banyak dan deras. Selain itu untuk peristiwa terbenamnya daratan (yang biasanya kering) karena volume air yang meningkat, dalam kamus juga disebut banjir.
Sedangkan genangan, ini dari kata dasar genang yang maknanya terhenti mengalir. Biasanya kata ini untuk hal-hal yang kecil, misalnya "bergenang air matanya mendengar cerita sedih itu." Kalau yang lebih luas, misalnya "tanaman padi menjadi busuk karena tergenang air berhari-hari.
Kendati dalam program kerjanya juga disebutnya banjir, terserah saja kata apa yang hendak digunakan Foke untuk menjawab pertanyaan masyarakat. Tak penting bersilat lidah, sebab warga Jakarta ingin pemimpinnya menyelesaikan persoalan yang sudah akut ini.
Kerugian warga Jakarta sangat besar akibat banjir itu. Bahkan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia memperkirakan kerugian akibat kemacetan dan banjir di Jakarta mencapai Rp 3 triliun, ini untuk hitungan lima hari saja. Karena itu, para penghusaha muda meminta pemerintah DKI Jakarta serius memecahkan masalah banjir dan kemacetan.
Bagaimana Foke menjawab masalah ini? Foke hanya meminta seluruh masyarakat Jakarta mahfum kondisi ibukota. " Saya mohon masyarakat maklum dan paham dengan kondisi ini," katanya kepada wartawan.
Selain itu, setiap bicara banjir, pemerintah pasti menyodori angka rupiah yang dibutuhkan. Kali ini, untuk mengatasi banjir pemerintah DKI butuh Rp 100 triliun. Bahkan, pemerintah DKI yang dipimpin Foke meminta bantuan pemerintah pusat.
Jika demikian, pantaskah Foke mengklaim diri sebagai ahlinya Jakarta?
Sumber : Nurlis Effendi; Foto Antara/Prasetyo Utomo