Badan saya serasa melayang ketika berusaha menembus udara subuh pagi ini. Udara yang menggigit seolah berusaha untuk meruntuhkan iman saya untuk jihad melaksanakan tugas saya selaku pegawai negara. Beruntung tak berapa lama menunggu di halte, bis Restu Panda bertuliskan Imelda melihat keberadaan saya dan mengangkut saya ke terminal. Tak lama saya sudah terlelap kembali di bangku sebelah kiri dengan mendekap hangat tas punggung saya. Saking terlelapnya kondektur tak mampu membangunkan saya, akhirnya saya bayar belakangan.
Pika, masih menunjukkan wajah melasnya di depan meja depan sekretariat. Alasan-alasan ia utarakan sejelas-jelas mungkin dihadapan saya, logat acehnya terasa kental di setiap kata yang meluncur dari mulutnya. Tak jauh dari kondisi kuliahnya yang amburadul. Itu alasan yang sangat khas untuk anak DIMPA, tapi tak cukup mumpuni untuk masuk ke telinga saya.