Cagar Alam Depok : Tertua Tapi Terabaikan
Cagar Alam Depok adalah kawasan konservasi tertua di Indonesia. Meskipun demikian, nasibnya masih mengenaskan. Pagar kawat berduri yang mengelilingi kawasan seluas 7,2 Ha itu kini menjadi tempat menggantung jemuran penduduk sekitarnya, bahkan menjadi tempat pembuangan sampah anorganik warga sekitarnya.
Lahan hibah dari seorang peranakan Belanda-Perancis bernama Cornelis Castelein seluas 30 ha ini semula difungsikan sebagai cagar alam (natuur reservaat). Namun karena kondisinya terus memburuk, sejak dua tahun lalu (buku ini edisi I dicetak tahun 2001, red) statusnya diubah menjadi taman hutan raya Pancoran Mas. Bahkan, menurut staf Bappeda Kodya Depok, status ini mungkin akan segera berubah menjadi hutan wisata yang berfungsi sebagai wahana studi lapangan.
Awalnya, kawasan konservasi ini berada di bawah pengawasan BKSDA Bogor. Karena perubahan ketentuan, pengelolaannya dilimpahkan kepada BKSDA DKI Jakarta sebelum kemudian dilimpahkan lagi ke Pemda Tk. I Jawa Barat, sebelum kembali diserahkan ke Pemda DKI Jakarta, hingga akhirnya pada bulan Mei 1999 diputuskan tetap berada di bawah pengawasan langsung Departemen Kehutanan, meskipun pengelolaannya diserahkan ke Pemda Tk. I Jawa Barat yang berkedudukan di Bandung. Kawasan ini sekarang diupayakan untuk diserahkan ke Walikota Depok. Hanya saja Kodya Depok baru berumur dua tahun dan belum memiliki Dinas Tata Kota, maka hal ini tentu akan menyulitkan, baik dari segi pengaturan tata ruang kota maupun pengelolaannya. Selain masalah ketidakjelasan pengelola, masalah terberat kawasan ini hingga saat ini dan terlebi8h-lebih di masa depan adalah sangat tingginya tekanan penduduk. Di masa depan, jangan-jangan prasasti tertua konservasi ini akan tinggal sebagai sejarah.
Sumber : Dicukil dari "Berkaca di Cermin Retak, Refleksi Konservasi dan Implikasi Bagi Pengelolaan Taman Nasional", oleh Wiratno, dkk.
Lahan hibah dari seorang peranakan Belanda-Perancis bernama Cornelis Castelein seluas 30 ha ini semula difungsikan sebagai cagar alam (natuur reservaat). Namun karena kondisinya terus memburuk, sejak dua tahun lalu (buku ini edisi I dicetak tahun 2001, red) statusnya diubah menjadi taman hutan raya Pancoran Mas. Bahkan, menurut staf Bappeda Kodya Depok, status ini mungkin akan segera berubah menjadi hutan wisata yang berfungsi sebagai wahana studi lapangan.
Awalnya, kawasan konservasi ini berada di bawah pengawasan BKSDA Bogor. Karena perubahan ketentuan, pengelolaannya dilimpahkan kepada BKSDA DKI Jakarta sebelum kemudian dilimpahkan lagi ke Pemda Tk. I Jawa Barat, sebelum kembali diserahkan ke Pemda DKI Jakarta, hingga akhirnya pada bulan Mei 1999 diputuskan tetap berada di bawah pengawasan langsung Departemen Kehutanan, meskipun pengelolaannya diserahkan ke Pemda Tk. I Jawa Barat yang berkedudukan di Bandung. Kawasan ini sekarang diupayakan untuk diserahkan ke Walikota Depok. Hanya saja Kodya Depok baru berumur dua tahun dan belum memiliki Dinas Tata Kota, maka hal ini tentu akan menyulitkan, baik dari segi pengaturan tata ruang kota maupun pengelolaannya. Selain masalah ketidakjelasan pengelola, masalah terberat kawasan ini hingga saat ini dan terlebi8h-lebih di masa depan adalah sangat tingginya tekanan penduduk. Di masa depan, jangan-jangan prasasti tertua konservasi ini akan tinggal sebagai sejarah.
Sumber : Dicukil dari "Berkaca di Cermin Retak, Refleksi Konservasi dan Implikasi Bagi Pengelolaan Taman Nasional", oleh Wiratno, dkk.
0 komentar