Hujan rintik-rintik tampak semakin merata ketika minibus Elf ini meninggalkan kawasan pool bis Restu di Singosari sebelah utara. Dari kaca buramnya dapat kulihat bayang-bayang lampu toko-toko dipinggir jalan mulai terbentuk oleh genangan air, putih, oranye, jingga. Saya tersenyum, sedikit kecut, pulang kantor kok bisa begini jadinya, terdampar di pool Bis. Tapi tak apalah, jika tidak ada kejadian tadi sore, pasti saya tak punya cerita.
***
Senyum sumringah saya tebarkan, ketika tiba di jalur bis antar kota tujuan Malang. Betapa tidak, sore hari itu yang hangat ada bis Restu Panda (Bis Restu ekonomi tapi ber-AC dan bersih, pada badan bis bergambar hewan Panda) menuju ke jalur antrian. Tidak biasanya, yang ada juga biasanya Restu Bumel (ekonomi tidak AC pula). Tidak menyinyiakan waktu, segera kunaiki bis Restu Panda tersebut dan mengambil tempat duduk sebelah kiri urutan kedua dari depan dekat jendela. Hmmm betapa nyaman, sudah ber-AC, jok-nya berbahan kain flanel layaknya bis Patas, ekonomi pula bayarnya.
Rasanya bis sudah melaju lebih dari 20 menit keluar Terminal bungurasih dan sudah melaju di jalur tol Sidoarjo – Porong, kok kondektur bis yang sedikit tambun dan tua itu belum juga sampai di barisanku untuk menarik ongkos. Belum hilang kegundahanku, tak berapa lama kondektur tersebut tiba-tiba datang ke arah supir bis. Dari pandangan matanya dapa dibaca kegundahan dan ketakutan, ia terlibat pembicaraan dengan supir dalam bahasa Madura. Walau saya tidak paham bahasa Madura tapi dapat ditangkap bahwa ada tentara yang berulah dengan tidak mau membayar ongkos bis. Penumpang mulai gaduh dan saling berbisik-bisik dan melemparkan pandangan untuk mencuri pandang mana tentara yang dimaksud.
Belum usai adrenalin di dada bergemuruh karena aroma ketegangan begitu menyeruak dalam ruangan bis, kondektur menyuruh supir untuk berhenti dan segera keluar bis dan bis-pun dilaju dengan cepat. Ketika bis masih di jalan Tol. Sesaat kemudian, majulah seorang Marinir bertubuh tinggi dan berbadan kekar. Dari kata-kata yang keluar daru mulutnya bisa kita ambil kesimpulan bahwa dia seorang yang sangat arogan. Pandangan tak suka dari penumpangpun dapat dilihat. Di pintu tol, marinir itu turun untuk menghadang jika kondektur tadi muncul menumpang kendaraan lain. Bis-pun berhenti di Siring, di pinggir jalan tanggul Lumpur Lapindo Porong. Bis tidak berani melanjutkan perjalanan karena tidak ada kondektur, dan kamipun terlantar hanya karena ulah seorang marinir bodoh.
***
Diluar kaca bis, hujan tampak begitu deras. Saya selonjoran sendiri, bis Restu Panda ini tinggal beberapa orang saja, karena yang lain sudah pindah bis, sedangkan kami yang tersisa akhirnya diangkut oleh bis yang sama ke Malang, tetapi tentu ke Pool Restu, tanpa ditarik bayaran, karena supir takut kena sanksi, sebab status perjalanan sekarang adalah terpal. Tapi kenyataannya, sang kernet diam-diam meminta ongkos secara diam-diam tanpa sepengetahuan supir dan tanpa tanda bukti. Kamipun maklum.
***
Ceritapun bergulir terus, akhir cerita tampaknya semakin seru saja kejadiannya. Tampaknya marinir tadi tidak mau menambah uang ongkos bis, karena ini Bis ekonomi AC Panda, dimana diskon untuk TNI Polri tidak berlaku. Karena kurang seribu, kondektur meminta sisanya, tetap marinir itu tak bergeming. Ya daripada ia kena hukum oleh kontrol bis yang sewaktu-waktu mengecek, akhirnya lebih baik marinir itu tidak membayar ongkos sama sekali, sambil kondektur mengembalikan uang lima ribuan darinya. Karena jika ada kontrol dari petugas, kondektur dapat membela diri bahwa marinir tidak mau membayar ongkos.
Nampaknya marinir tidak mau menerimanya, ia malah memberi bogem mentah dan tendangan ke arah kondektur. Tidak itu saja, ia pun mengeluarkan sangkurnya. Sebenarnya ketika kejadian ada 3 (tiga) orang tentara juga, seorang dari TNI-AD dan 2 (dua) orang dari TNI AL (bukan marinir), mereka melerai kejadian itu, tetapi sang marinir ini tadi begitu arogannya dan balik mengancam kepada tentara yang lain untuk tidak ikut-ikut.
***
Suparlan, kondektur reling bis restu yang numpang pulang dan pada saat kejadian ia berada di belakang dimana kejadian itu terjadi, tampak masih memonyong-monyongkan bibirnya bercerita kronologis yang telah terjadi. “jenenge handoko, omahe nang Lawang....”, ujarnya menjelaskan.