Saya pertama kenal teman satu ini ketika sekolah di SMA Negeri 5 Malang. Wajahnya yang dipenuhi jerawat dan bentuk muka yang oval telur yang kemudian menjadikan namanya tertutup oleh nama panggilannya "mendhol". Kalau berjalan agak sedikit mentul-mentul, mungkin karena rasa percaya dirinya cukup tinggi. Dikemudian hari, teman saya satu ini menjadi sangat dekat dengan saya dan seperti saudara. Bersama-sama beberapa pentolan di kelas satu, Tarjo, Daim, Bendhil, Kunam, kita membangun kelas kami dan memberi nama kelas kami "MALSEF" yang kepanjangan dari Masyarakat Solidaritas Satu Ef.
Dony sangat menonjol di dalam kel`s, gayanya yang ceria, supel, dan cara bicaranya yang dapat mempengaruhi lawan bicara, membuat dia sangat di"gemari", terutama untuk beberapa cewek. Saya kadang sangat iri dengan dony saat itu, betapa tidak untuk cepat dekat dengan teman cewek, dia begitu mudah untuk memulai pembicaraan. Okelah, untuk selama setahun di kelas satu, saya menganggap dia gagal guna membuktikan dirinya "playboy". Yang ada juga ditolakin cewek-cewek. Tapi ketika kami duduk di kelas dua dan tiga, fuih ... jangan tanya. Di tahun inilah dia mengawali legenda cinta-nya, dengan "menaklukkan" hati seorang cewek yang dulu adik kelasnya ketika SMP. Devi namanya, dan ternyata rumahnya tidak terlalu jauh dengan rumahku, lalu kami secara tidak sengaja menyebut keluarga Devi dengan sebutan "Keluarga Wahidin" karena rumahnya di jalan Wahidin. Di kemudian hari, rumah ini menjadi satu tempat aku bertengger kalau gundah.
Dony sangat pandai mengolah kata, kadang saya ketika itu meniru caranya untuk mendekati cewek yang saya incar, ya ... ada yang berhasil tapi tidak sedikit yang gagal total. hehehe. Tapi itu semua di tangan seorang Dony, 100% berhasil. Saya masih ingat sekali bagaimana Devi akhirnya menerima cinta Dony. Setelah pendekatan yang tidak mengenal lelah sekian waktu, suatu sore hari Dony ke rumah Devi dengan wajah kucel kecapaian dan menenteng tas besar berisi pakaian, karena Dony dari rumah neneknya di Blitar. Dan saat itulah Dony "menembak" Devi. Entah apa yang diucapkan Dony, tapi yang jelas Devi begitu terharu dan luluhlah hatinya.
Kisah Cinta Dony dan Devi bagi saya cukup melegenda di kalangan kami, karena betapa naik turunnya suhu hubungan mereka berdua yang sering melibatkan kami teman-temannya. Mungkin karena Dony sudah sangat dekat dengan saya, saya diperbolehkan membaca banyak surat-surat cintanya, baik dari Devi maupun dari para adik kelas. Saya bilang para karena lebih dari satu. Ada sebuah surat yang cukup panjang dan isinya sangat menyentuh hati, surat dari Devi yang berisi kegundahan hatinya dan cemburunya terhadap seorang adik kelas yang sangat dekat dengan Doni. Ini karena Devi bersekolah di sekolah yang berbeda dengan kami. Saking terinspirasinya saya dengan surat itu sampai-sampai saya berusaha untuk membuat cerpen. Tapi ya karena kemampuan menulis saya yang cekak, tuh cerpen tidak pernah jadi. Walau cukup melegenda kisah cinta mereka, tapi toh jodoh tetap Alloh yang mengatur. Dan akhirnya Devi menikah terlebih dahulu, Dony juga cukup gentleman untuk hadir di pernikahan tersebut,. Ya kami, teman yang hadir saat itu jadi tegang juga, karena kehadiran Dony saat itu cukup membuat suasana jadi tegang. Mungkin ada baiknya juga kalau mantan nikah, kita gak hadir. Dan akhirnya kisah cinta legenda cukup fair berpindah ke Tarjo dan Ciwuk (keduanya teman kami) yang kisah cinta mereka dilanjutkan ke pernikahan.
Selain pandai "mengolah kata", Dony juga cuek, ya setidaknya cuek terhadap pertumbuhan jerawatnya yang cukup subur. Padahal ia tumbuh di sebuah keluarga dokter. Karena bapaknya Dony dokter, saya kadang numpang nanya ke Dony tentang sakit saya ketika main ke rumahnya di kawasan Bandulan. Seperti ketika tenggorokan saya saki, eh tiba-tiba dia menyodorkan saya obat kumur dalam sebuah kemasan botol beling. Jelas saja saya terperanjat, ".. hei yang aku butuhin resep obat dokter, duduk soko awakmu". Dengan santai dia jawab, ".. apa sih bedanya resep dokter dengan resep anaknya dokter...".
Dony adalah pelopor, setidaknya pelopor untuk menikah. Diantara kami berlima (Dony, Tarjo, Daim, Bendhil, dan saya) hanya Dony-lah yang tinggal di luar Jawa Timur. Tapi begitu pulang ke Malang, Dony juga yang pelopor untuk mengumpulkan kami berlima, ya sekedar reuni kecil-kecilan.
Dony is solidarnosch, solider abis. Waktu aku ada masalah, dan terpaksa kabur dari rumah, dia juga yang nampung dan ngasih makan selama waktu "bertapa" itu. Jika diantara kami juga sedang berseteru, tidak jarang kami menyelesaikannya dengan bertemu, ngopi, lihat lampu-lampu kendaraan sambil membicarakan apa saja sehingga kami melupakan perseteruan kami. Kecuali perseteruannya cukup dalem, sehingga melibatkan beberapa teman kami, mungkin juga Tarjo yang paling bijaksana di antara kami. Tapi ya itu, tidak ada masalah yang tidak dapat diselesaikan bagi kami.
Satu hal yang saya kurang sukai dari seorang Dony, ngaret dan mungkin pikun akan janjinya, karena cukup sering juga kita janjian bertemu eh dony gak nongol-nongol. Katanya lupa. Ada satu benda pemberian Dony sejak kami masih SMA dulu sampai saat ini masih tersimpan di saya, sebuah cermin lipat. Entah apa maksudnya dia memberi saya cermin tersebut? Saya pikir mungkin saya sebagai seorang individu untuk sering bercermin, siapa kita dan apa kita, sehingga tidak perlu kita menyakiti orang lain jika kita dapat merasakan jika kita juga sakit jika mengalami hal tersebut.
Dony sangat menonjol di dalam kel`s, gayanya yang ceria, supel, dan cara bicaranya yang dapat mempengaruhi lawan bicara, membuat dia sangat di"gemari", terutama untuk beberapa cewek. Saya kadang sangat iri dengan dony saat itu, betapa tidak untuk cepat dekat dengan teman cewek, dia begitu mudah untuk memulai pembicaraan. Okelah, untuk selama setahun di kelas satu, saya menganggap dia gagal guna membuktikan dirinya "playboy". Yang ada juga ditolakin cewek-cewek. Tapi ketika kami duduk di kelas dua dan tiga, fuih ... jangan tanya. Di tahun inilah dia mengawali legenda cinta-nya, dengan "menaklukkan" hati seorang cewek yang dulu adik kelasnya ketika SMP. Devi namanya, dan ternyata rumahnya tidak terlalu jauh dengan rumahku, lalu kami secara tidak sengaja menyebut keluarga Devi dengan sebutan "Keluarga Wahidin" karena rumahnya di jalan Wahidin. Di kemudian hari, rumah ini menjadi satu tempat aku bertengger kalau gundah.
Dony sangat pandai mengolah kata, kadang saya ketika itu meniru caranya untuk mendekati cewek yang saya incar, ya ... ada yang berhasil tapi tidak sedikit yang gagal total. hehehe. Tapi itu semua di tangan seorang Dony, 100% berhasil. Saya masih ingat sekali bagaimana Devi akhirnya menerima cinta Dony. Setelah pendekatan yang tidak mengenal lelah sekian waktu, suatu sore hari Dony ke rumah Devi dengan wajah kucel kecapaian dan menenteng tas besar berisi pakaian, karena Dony dari rumah neneknya di Blitar. Dan saat itulah Dony "menembak" Devi. Entah apa yang diucapkan Dony, tapi yang jelas Devi begitu terharu dan luluhlah hatinya.
Kisah Cinta Dony dan Devi bagi saya cukup melegenda di kalangan kami, karena betapa naik turunnya suhu hubungan mereka berdua yang sering melibatkan kami teman-temannya. Mungkin karena Dony sudah sangat dekat dengan saya, saya diperbolehkan membaca banyak surat-surat cintanya, baik dari Devi maupun dari para adik kelas. Saya bilang para karena lebih dari satu. Ada sebuah surat yang cukup panjang dan isinya sangat menyentuh hati, surat dari Devi yang berisi kegundahan hatinya dan cemburunya terhadap seorang adik kelas yang sangat dekat dengan Doni. Ini karena Devi bersekolah di sekolah yang berbeda dengan kami. Saking terinspirasinya saya dengan surat itu sampai-sampai saya berusaha untuk membuat cerpen. Tapi ya karena kemampuan menulis saya yang cekak, tuh cerpen tidak pernah jadi. Walau cukup melegenda kisah cinta mereka, tapi toh jodoh tetap Alloh yang mengatur. Dan akhirnya Devi menikah terlebih dahulu, Dony juga cukup gentleman untuk hadir di pernikahan tersebut,. Ya kami, teman yang hadir saat itu jadi tegang juga, karena kehadiran Dony saat itu cukup membuat suasana jadi tegang. Mungkin ada baiknya juga kalau mantan nikah, kita gak hadir. Dan akhirnya kisah cinta legenda cukup fair berpindah ke Tarjo dan Ciwuk (keduanya teman kami) yang kisah cinta mereka dilanjutkan ke pernikahan.
Selain pandai "mengolah kata", Dony juga cuek, ya setidaknya cuek terhadap pertumbuhan jerawatnya yang cukup subur. Padahal ia tumbuh di sebuah keluarga dokter. Karena bapaknya Dony dokter, saya kadang numpang nanya ke Dony tentang sakit saya ketika main ke rumahnya di kawasan Bandulan. Seperti ketika tenggorokan saya saki, eh tiba-tiba dia menyodorkan saya obat kumur dalam sebuah kemasan botol beling. Jelas saja saya terperanjat, ".. hei yang aku butuhin resep obat dokter, duduk soko awakmu". Dengan santai dia jawab, ".. apa sih bedanya resep dokter dengan resep anaknya dokter...".
Dony adalah pelopor, setidaknya pelopor untuk menikah. Diantara kami berlima (Dony, Tarjo, Daim, Bendhil, dan saya) hanya Dony-lah yang tinggal di luar Jawa Timur. Tapi begitu pulang ke Malang, Dony juga yang pelopor untuk mengumpulkan kami berlima, ya sekedar reuni kecil-kecilan.
Dony is solidarnosch, solider abis. Waktu aku ada masalah, dan terpaksa kabur dari rumah, dia juga yang nampung dan ngasih makan selama waktu "bertapa" itu. Jika diantara kami juga sedang berseteru, tidak jarang kami menyelesaikannya dengan bertemu, ngopi, lihat lampu-lampu kendaraan sambil membicarakan apa saja sehingga kami melupakan perseteruan kami. Kecuali perseteruannya cukup dalem, sehingga melibatkan beberapa teman kami, mungkin juga Tarjo yang paling bijaksana di antara kami. Tapi ya itu, tidak ada masalah yang tidak dapat diselesaikan bagi kami.
Satu hal yang saya kurang sukai dari seorang Dony, ngaret dan mungkin pikun akan janjinya, karena cukup sering juga kita janjian bertemu eh dony gak nongol-nongol. Katanya lupa. Ada satu benda pemberian Dony sejak kami masih SMA dulu sampai saat ini masih tersimpan di saya, sebuah cermin lipat. Entah apa maksudnya dia memberi saya cermin tersebut? Saya pikir mungkin saya sebagai seorang individu untuk sering bercermin, siapa kita dan apa kita, sehingga tidak perlu kita menyakiti orang lain jika kita dapat merasakan jika kita juga sakit jika mengalami hal tersebut.