Sahabat dan Saudara

by - August 26, 2008

Saya sangat bersyukur sekali mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan di Univ. Muhammadiyah Malang. Di kampus inilah saya mengenal sebuah tempat yang kemudian membukakan mata saya dalam memaknai arti persahabatan. Di sebuah organisasi yang bernama DIMPA. Sebuah organisasi pecinta alam yang sistem keanggotaannya seumur hidup. Banyak manusia unik dan beraneka ragam yang saya jumpai. Mulai Indonesia barat hingga timur. Banyak pergulatan yang melibatkan banyak emosi dan cinta dalam menghabiskan waktu kami bersama. Kadang kami menjadi "musuh", kadang kami menjadi "sekutu". Terkadang kami sampai membanting meja dalam sebuah rapat ketika tensi rapat naik, kadang kami saling berpelukan sambil mengurai air mata. Kami benar-benar digulung dalam permainan emosi yang membuat kami semakin paham arti persahabatan.


Kami belajar bagaimana mendengar angkatan tua berbicara, disisi lain kami juga harus menentang pendapat mereka. Ada sisi dimana kami harus mendidik "adik-adik" kami dengan hati, ada kalanya dengan kemarahan kami. Tapi pada akhirnya kami dapat belajar bagaimana kami memposisikan diri terhadap mereka semua.
Saya menganggap angkatan saya (Angkatan X /1993) dan angkatan di bawah saya (Angkatan XI/ 1994) merupakan dua angkatan yang tak lekang persahabatannya. Kami boleh beda angkatan tapi kami mayoritas dari angkatan kuliah yang sama. Dan karena itu pula kami sering mengadakan kegiatan bersama, memimpin organisasi ini bersama selama beberapa tahun. Kami sangat sering berdiskusi dan berkumpul bersama. Kadang di warung Lestari belakang kampus, kalau malam dapat pindah ke rumah saya di hamid rusdi, atau ke kontrakan Tapak Jalak, Kos Sengkaling, rumah Kempong di Kauman kota Batu, atau sekedar merecokin dan uji nyali di rumah Agus Ableh di Jl. Kasembon - kota Malang. Maklum rumahnya banyak demitnya, dan si Ableh dengan cueknya nidurin tuh rumah warisan sendirian. Saya sangsi kalau dia betul-betul "tatag" terhadap tuh demit, tapi lebih dikarenakan kacamatanya yang setebal pantat botol, sehingga cukup dengan membuka kacamatanya, buram sudah dunia. Dan kami kumpul-kumpul tidak melulu serius, kadang kami main SEGA hingga pagi (maklum PS belum ada).
Karena kami sudah seperti saudara, selain kami begitu dihapal oleh keluarga kami, kitapun hapal akan kebiasaan kami. Contohnya kala itu jika saya sudah emosi dan mau marah, teman-teman selalu nyletuk "..he ndang dipinggirno tempat sampah e, ancur mengko disepak-i tuwek..". Dan akhirnya saya-pun tersenyum geli melihat tingkah mereka. Atau kebiasaan Misuh si Karyo yang asli Sragen dengan "Bajirut.."-nya lengkap dengan style topi, kemeja dan celana berwarna hitam. Nah inilah warna favorit buat kami saat itu, hitam - hitam, entah karena biar awet dipakainya atau kalau kotor tidak terlihat kumelnya. hehehe.
Pernah suatu ketika malam tahun baru, saya lupa tahunnya, ketika itu seisi sekretariat laki-laki semua (karena pukul 21.00 WIB sekretariat harus steril dari mahluk bernama wanita). Dan ketika pukul mendekati 00.00 WIB, kami spontan berkumpul dan berdiri dibawah wall climbing membentuk lingkaran. Entah siapa awalnya yang memulai berbicara, tapi akhirnya pembicaraan di dalam lingkaran malam itu menjadi ajang curhat dan permintaan maaf atas keegoisan masing-masing individu. Hingga ketika tiba giliran Yoyon yang berbicara terdengar suara sesenggukan, eh .. akhirnya semua sesenggukan dan kami bersalaman dan berpelukan erat. Emosi kami malam itu begitu haru biru, kami merasa lebih dari sekedar sahabat tetapi seperti saudara. Saudara seperjuangan.
Saya rindu kalian semua sahabat dan saudaraku, Kempong, Magma Jidat, Deni Gajah, Sofi Lempung, Ableh, Karyo, Yoyon, Ambon, Nophe, Erfan, Macho, Ihsan Kucing, Parvi tengik, Refizal, Pramu changcutter, Ochid betawi asli, Sarkeh dan "my lost brother" Ketip. Kembali ke jalan yang benar ya Tip, kami menunggumu disitu. I miss you all, brothers ...

You May Also Like

0 komentar