Ngopi ne Nongkrong Nong Lorong
Soal ngopi alias minum kopi, bukanlah domainnya café-café saja punya modal tinggi. Tapi juga milik warung-warung kopi atau separuh warung separuh café yang jumlah sudah menjamur bak di musim hujan. Kali ini saya mau bercerita tentang sebuah tempat ngopi yang saya jamin enak di sebuah kampung di tengah-tengah Kota Surabaya.
Adalah Kampung Petemon, tempat warung kopi (yah sebut saja begitu) ini. Asal kata kampung ini semestinya temu. Dalam bahasa Jawa jika diberi tambahan “n” dibelakang maka membacanya “temon” bukan temun. Agar bunyi dan bermakna wajar seharusnya menjadi Ketemon. Artinya Indonesiannya ketahuan. Tapi dalam kasus penamaan kampung ini, tahu-tahu sudah terkenal menjadi Petemon. Bukan Ketemon. Padahal keduanya cukup berbeda dalam makna. Petemon bisa bermakna pertemuan, Ketemon maknanya bisa ketahuan. Tidak ada referensi cukup sahih terkait ini.
Kampung ini terkenal dengan nama Petemon, salah satu kampung yang berada di jantung kota Surabaya. Sebuah kampung lawas alias lama yang sebenarnya layak segera dipikirkan bagaimana para warganya segera terentas dari banjir setiap kali musim hujan tiba. Nah, dari panjang lebar cerita soal kampung petemon itu, Nongkrong Nong Lorong ada dan berlabuh disana. Di gang 4/142.
Namanya yang saya kenal Pak Widi, si empunya warung nongkrong ini. Kita kenal karena satu hal awalnya, jurnalistik. Pak Widi itu jebolan sebuah koran regional yang mewabah hingga nasional, dengan kaki-kaki radarnya ada di mana-mana. Dan dari jurnalistik itulah obrolan sering mengalir hingga ke masalah kopi. Sebagai orang doyan ngopi yang gak asal ngopi (kecuali kepepet), kok yo klop dengan pak Widi. Wes tahlah.
Sebenarnya bukan sekali saja saya singgah atau niat ta singgahi tuh warung nongkrong. Bukan apa-apa, bagi saya perlu niat yang kuat buat menyatroni Nongkrong Nong Lorong ini. Pertama, posisi saya haruslah sedang nginep di kantor atau terpaksa nginep di kantor. Kedua, jarak antara kantor saya di sekita Bandara Juanda – Sidoarjo (ini yang benar, bukan Surabaya) dengan lokasi warung Pak Widi di Petemon, bukanlah jarang yang pendek. Bayangkan saya harus melewati kawasan-kawasan rawan macet seperti Bundaran Waru, Ahmad Yani, rel sepur Wonokromo, Kebun Binatang Surabaya, daaaannn jalan Diponegoro yang banyak sekali perempatan dan lampu merahnya. Cocok iwak endog wes.
Tapi begitu kopi sudah di seduh, plus jualannya Pak Widi yang khas, yakni dodolan cangkem alias cerita yang terus mengalir, menjadi malam yang suntukpun menjadi gayeng. Tak terkecuali malam itu, 12 Juli 2016 yang lalu. Pak Widi dengan sigap mengeluarkan peralatan tempurnya, yang saya kenal grinder. Beberapa kantung roasting bean dari pelbagai jenis kopi.
“aku ono kopi solok, gelem yo”, tawarnya. Tak berapa lama ia pun sibuk merebus air, kemudian menentukan derajat yang tepat untuk air yang mendidih tersebut, menyiapkan kopi yang telah di grinder tadi ke dalam wadah v-60. Wes-wes kok cek ruwet e. saya tinggal duduk saja sambil menikmati kue-kue lebaran. Tak berapa lama kopi arabika solok itupun hadir di depan saya. Dahsyat memang.
Pak wid mengakui jika waktu ramai, dia sampai kewalahan, karena sebagai satu-satunya barista (gitu ya namanya) di warung kopinya. Segala macam sajian kopi bisa disiapkan, kopi tubruk, capuccino, espresso, dan lainnya, asli gak apal aku, saya kalo ngopi gak jauh-jauh dari kata tubruk dan espresso. Wes.
0 komentar