Wadi, Madzi, dan Hukum Bersentuhan Dengan Lawan jenis

by - February 21, 2018



Ada sebuah pertanyaan tentang arti atau maksud dari wadi dan madzi. Dan apakah membatalkan wudhu ketika bersentuhan laki-lakin dan perempuan ?


Wadi adalah cairan bening, agak kental (berlendir), yang keluar setelah kencing. Cairan ini hukumnya najis. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh ‘Aisah ra. :
“Wadi itu keluar setelah kencing, maka hendaklah membasuh kemaluannya (baik laki-lakin maupun perempuan), lalu berwudhu dan tidak perlu mandi”
(HR. Ibnu al-Mundzir)

Sedangkan madzi adalah cairan bening, agak lengket, yang keluar ketika seseorang sedang terangsang (karena kuatnya dorongan syahwat) atau sedang bercumbu (berfungsi seperti pelumas untuk bersenggama). Biasanya keluarnya tidak terasa dan tanpa disadari, bisa terjadi pada laki-laki maupun perempuan, hanya saja biasanya pada perempuan cairan ini keluar lebih banyak. Cairan ini juga hukumnya najis, tetapi mengenai pakaian cukup dengan memercikkan air. Karena madzi ini merupakan najis ringan yang sulit untuk dihindari, khususnya bagi pemuda yang belum menikah. Sebagaimana pengakuan Ali ra. :
“Saya kerap kali mengeluarkan madzi, sedang saya sendiri malu menanyakannya pada Rasulullah SAW, karena putrinya menjadi istriku, maka sasya menyuruh Miqdad untuk menanyakannya. Miqdad-pun menanyakannya kepada beliau. Beliau menjawab, ‘Hendaklah ia basuh kemaluannya dan berwudhulah.”
(HR. Bukhari-Muslim)

Hal ini juga sering terjadi pada Sahal bin Hunf ra., ia mengatakannya,
"Áku seringkali kepayahan untuk bersuci dari madzi, aku jadi selalu mandi. Lalu aku mengadu kepada Rasulullah SAW. Belia menjawab, ‘Sesungguhnya kamu cukup wudhu’. Lalu aku bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah bagaimana jika madzi itu mengenai pakainku ?’ Beliau menjawab, ‘Cukup ambil air secukupnya dan percikkan kain yang terkena tersebut’.”
(HR. Abu Daud, Ibn Majjah dan Tirmidzi)

Selain kedua cairan tersebut, ada satu cairan lagi yang keluar ketika syahwat seseorang memuncak, yaitu mani. Mani adalah cairan yang keluar ketika syahwat sudah mencapai puncaknya, keluarnya dengan memuncrat, memiliki bau yang khas, setelah keluar badan terasa lemas. Para ulama berbeda pendapat mengenai hukumnya. Menurut Imam abu hanifah dan Imam Malik, hukum mani adalah najis. Sementara Imam Ahmad dan Imam Syafi’i berpendapat suci. Inilah yang dipegang oleh Muhammadiyah. Sebagaimana hadits dari Ibnu abbas, ia mengatakan :
“Nabi SAW pernah ditanya tentang mani yang mengenai pakaian, lalu Ia menjawab, ‘mani itu sama kedudukannya seperti ingus, liur, dan dahak. Cukup bagimu mengusapnya dengan kain atau dengan rumput idzkir (tumbuhan yang wangi)’.”
(HR. Daruqutni, Baihaqi, dan Thahawi)

Mengenai cara membersihkan mani ini, ‘Aisyah juga menjelaskan, 
“Aku kerik mani itu dari kain Rasulullah SAW bilamana ia telah mengering, dan aku cuci kain itu bila masih basah.”
(HR. Daruqutni, Abu ‘Uwanah, dan Bazzar)

Meskipun mani tidak najis, namun jika keluar (baik dalam keadaan tidur maupun sadar) bisa menyebabkan hadats besar, sehingga wajib mandi besar (mandi janabat). Hal ini didasarkan pada hadits :


Dari Zur’ah Abu Abd ar-Rahman berkata :
“Aku mendengar Ibn Abbas ra. menjelaskan tentang mani, wadi, dan madzi. Adapun mani, maka itulah yang mewajibkannya mandi. Sedangkan wadi dan madzi, Ibn ‘Abbas mengatakan, ‘basuhlah kemaluanmu dan berwudhulah sebagaimana wudhu untuk shalat’.” (HR. Baihaqi)

Jawaban atas pertanyaan kedua
Dalil yang berkaitan dengan bersentuhan laki-laki dengan perempuan terdapat dalam Al Qur’an surat Al Maidah ayat 6. Allah berfirman :

 

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al Maidah : 6)

Dalam memahami "Laa masnaamu nassaa' " yang artinya “menyentuh perempuan”, para ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama memahami bahwa yang dimaksud dalam ayat ini adalah makna hakikinya / dzahirnya. Sehingga mereka berkesimpulan bahwa menyentuh wanitu termasuk membatalkan wudhu.  Pendapat ini dipegang oleh Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar, az-Zuhri, as-Syafi’i, dan para sahabatnya. Sementara jumhur ulama memahami bahwa yang dimaksud oleh ayat ini adalah jima’ (hubungan suami-istri). Pendapat ini dipegang oleh Ali, Ibn Abbas, Ath’a, Thaus, al-Utrah, abu Hanifah, dan Abu Yusuf. Pendapat kedua inilah yang dirajihkan oleh Muhammadiyah. Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah ra. :

“Bahwa Nabi SAW, mencium sebagian istri-sitrinya kemudian beliau shalat dan tidak berwudhu.”
(HR. Ahmad dan Imam empat dengan sanad yang kuat)

Perilaku Rasulullah SAW ini menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan “menyentuh perempuan” dalam surat Al Maidah ayat 6 tersebut adalah menyentuh dalam pengertian majazi (kiasan), yaitu jima’. Sebab, jika menyentuh perempuan itu membatalkan wudhu tentu Rasulullah tidak mungkin langsung melaksanakan shalat setelah mencium istrinya. Bahkan dalam riwayat yang lain Rasulullah sendir menjelaskan bahwa,

“Sesungguhnya mencium (istri) itu tidak membatalkan wudhu dan tidak membatalkan puasa.”
(HR. Ishaq, Ibn Rawahaih, dan Bazzar)

Kesimpulannya adalah menyentuh perempuan tidak membatalkan wudhu. Meskipun demikian, tidak boleh dengan sengaja menyentuh perempuan yang bukan mahramnya. Wudhu tidak batal, tetapi ia akan tetap berdosa karena menyentuh perempuan bukan mahramnya. Hendaknya kita waspada terhadap hal-hal yang terlihat remeh. Wallahu’Alam bi ash-Shawab.

Sumber :
Ahmad Naufal, S.Th.I, M.E.I, Alumni Pendidikan Ulama Tarjih Muhammdiyah
Buletin Tabligh No. 10/XI Syawal-Dzulqa’dah 1435 H

You May Also Like

0 komentar