Bapak Mangkat

by - September 05, 2013

Foto Bapak Ketika Saya Menikah
Lemas rasanya ketika saya lihat pintu kamar 239 Paviliun Dahlia telah terbuka lebar, beberapa orang tampak menanti didepannya. "Apakah?", tanyaku dalam hati. Neyna, keponakanku, ikut terseret dalam derasnya langkahku menuju ruangan itu. Ketika tiba di depan pintu, ibu langsung menyambut. Matanya sedikit merah, tapi tampak guratan wajahnya begitu tegar dan ikhlas. "Bapak baru saja mangkat, gus..", ujarnya. Segera kuhampiri jenazahnya, tampak dua orang perawat masih disampingnya, Rini dan Rina, adik saya, juga disampingnya, mata lebam mereka tampak terlihat jelas. Mendung duka begitu kuat Rabu Maghrib itu.


***

Selasa malam, 27 Agustus 2013, bergegas saya kembali ke rumah sakit. Waktu di jam dinding menunjukkan pukul 23.00 WIB. Ibu mengabari keadaan bapak memburuk. Tak berapa lama saya sudah mengusap-usap dahi beliau sambil membisikkan beberapa kata kepadanya, "astaghfirulloh ... Laa illahaillalloh..". Meski memakai masker pembantu bernafas, saya masih jelas mendengar suara bapak mengikuti kata-kata yang saya ucapkan. Tak berapa lama beliau sudah terlihat koma. Dari monitor dapat saya lihat detak jantungnya berpacu tinggi dengan tensinya yang rendah. Beliau sudah bernafas menggunakan perut, tidak lagi paru-paru. Suasana duka mulai menyelimuti ruangan kamar itu. Tak berapa lama pak ustadz datang dan mendoakan bapak serta membaca beberapa Surat dari Al-Qur'an. 

***

Rabu, 28 Agustus 2013, Pkl. 19.45 WIB. Selesai memandikan dan me-wudhu-kan jenazah bapak di kamar jenazah RSSA Malang, jenazah bapak disholatkan di rumah beliau di Hamid Rusdi. Banyak rekan beliau yang hadir, pun rekan dari ibu, saya, dan adik-adik saya. Lewat pukul 9 malam, jenazah beliau diberangkatkan ke kampung halamannya di Trenggalek. Saya beserta ibu berada di mobil ambulance, adik-adik beserta istri dan anak-anak berada di mobil-mobil yang mengiringi di belakang. Tepat tengah malam kami telah tiba di kampung halaman bapak. Sebuah desa bernama Tamanan.

***

Ini pertamakalinya saya dapat menangis leluasa. Air mata saya terjun bebas. Sedangkan sepada motor membawa saya pulang kembali ke rumah dari rumah ibu. Sudah 7 hari berlalu sejak bapak meninggalkan kami untuk selama-lamanya. Selama itu jua saya tidak ingin menampakkan air mata ada di wajah saya. Tak ingin saya menambah kesedihan di wajah ibu dan adik-adik. Tapi tidak untuk petang ini. Ketika seluruh rangkaian yasinan dan tahlilan hingga 7 hari usai, dan rumah ibu sudah saya bersihkan kembali, tiba-tiba air mata tampak tanpa beban membasahi  wajah saya. Saya kehilanganmu, bapak.

You May Also Like

0 komentar