Monitoring Elang Bikin Hidup Bergairah
Saya tak sangka peralatan yang dibawa melebihi ekspetasi awal. Ketambahan handy talky 2 set plus binokuler, memaksa saya merubah tas day pack menjadi karrier, meski tak besar. Dan masalah berat, jangan ditanya, dengan pakaian ganti, sleeping bag, kamera 3 buah, GPS, peralatan charger, dan peralatan mandi, membuat karrier ini semakin berat. Masih untung saya bukan wanita yang bakal nambah acara bawaannya.
Saat mentari bersiap untuk bersinar di ufuk timur, saya sudah berada dalam bis yang melaju menuju Surabaya. Dari kota ini, perjalanan dilanjutkan ke Madiun dengan bis juga. Barulah dari Madiun saya melanjutkan ke lokasi dengan sepeda motor trail milik Kepala Resort, Pak Nyomo, yang sedang parkir di Kantor Wilayah Madiun.
Ini menjadi kunjungan saya yang kesekian kali ke Dusun Seketip, dusun terakhir yang menjadi penyangga 2 cagar alam (CA), Gunung Picis dan Gunung Sigogor. Seperti kunjungan sebelumnya, jujugan saya adalah rumah milik Pak Kusno, anggota Masyarakat Mitra Polhut yang turut pengamanan kawasan kedua cagar alam. Dan, kopi buatan bu Kusno-pun ikut tersaji begitu saya tiba di dapur yang masih menggunakan tungku kayu bakar itu.
Terhitung 4 Oktober 2018 hingga beberapa hari kedepan, saya dan beberapa rekan-rekan resort setempat akan melakukan monitoring Elang Jawa / Javan Hawk Eagle yang memiliki nama ilmiah Nisaetus bartelsi. Meski side monitoringnya hanya di CA. Gunung Picis, namun sebagai saudara tuanya, CA. Gunung Sigogor ikut diamati keberadaan si JHE untuk informasi tambahan.
Bagi saya, monitoring ini bukan sekedar berburu foto Sang Garuda yang sedang terbang di angkasa atau pas bertengger indah di sebuah dahan pohon. Namun, lebih merasakan keheningan hutan. Dimana hanya ada saya, sendiri (eh enggak ding, sama teman) dan hutan beserta suara khasnya. Mencari lokasi yang tepat agar bisa melihat elang dengan puas. Kadang sambil menyeruput kopi Seketip sambil menunggu sang elang menari di atas.
Bisa jadi, justru perjalanan ke lokasi pengamatan menjadi cerita tersendiri. Bagaimana harus bersusah payah memotong kontur kawasan yang terjal demi menghemat waktu tiba di punggungan sebelah. Jatuh atau sekedar terpeleset sudah santapan utama. Belum lagi nafas yang ngos-ngosan berpacu dengan dengkul yang terasa copot. Namun semua terbayar saat bisa berjumpa dengan si elang.
Hah ... rasanya ingin berlama-lama di sana. Tak ada sinyal hape. Tak ada keriuhan kota. Tak ada kelelahan kota. Yang ada hanya keheningan, atau perbincangan lugu dengan teman seperjalanan. Ya, bisa masalah kamera, atau si elang yang lewatnya kecepatan, atau bercerita tentang tim lain yang belum dapat foto Elang Jawa. Cerita yang gak muluk.
Dan menghabis malam di dapur bu Kasno, di depan tungku kayu bakar tempat ia memasak. Menghangatkan tubuh sambil menikmati seduhan kopinya yang nikmat. Cerita-cerita bisa begitu mengalir, mulai pengalaman seharian tadi atau rasan-rasan tingkat tinggi yang bikin tertawa meledak bersama-sama. Mboten..!
Dan akhirnya, kadang ada ketidakrelaan saat semua harus diakhiri dan kembali ke kota masing-masing. Kembali ke rutinitas awal.
2 komentar
Keren bgt...jadi ingat zaman sy SD msh sering liat elang kepala putih..maklum sy anak desa yg biasa ikut ke kebun ditengah hutan
ReplyDeletekepala putih, yang umum ada Elang bondol dan Elang laut dada putih, hanya saja kedua jenis itu tinggal di dekat perairan.
Delete