Sumber foto : twitter @AnisJatnika |
Wiih... Beberapa gunung sudah ancang-ancang dibuka kembali untuk pendakian, tentunya dengan menerapkan protokoler Covid-19 nantinya. Seperti wajib memakai masker, menjaga jarak, hingga pengecekan suhu tubuh atau bahkan ada surat keterangan sehat. Lha hal seperti ini kadang luput dari perhatian, tapi tidak bisa disepelekan. Gimana sih rasanya berolahraga (woi.. naik gunung masuk olahraga lho yoo..) tapi tetap memakai masker.
Kita ngomong agak-agak ilmiah dikit ya. Pertama, yang harus dipahami tujuan berolahraga buat apa sih? Buat SEHAT, iya kan. Come on, jangan ngomong buat gaya-gayaan atau pamer di status WA dan IG. Nah, logikanya gak perlu memakai masker dong, iyakan gaes.
Yaa .. tergantung tingkat kebugaran dan risiko kesehatan kita, serta kompensasi yang dilakukan yang masih bisa ditolerir tubuh, jadinya tidak berakibat fatal. Ini ada grafik yang kira-kira bisa menjelaskan hubungan antara resiko terkena infeksi saluran pernapasan dengan intensitas olahraga yang dilakukan. Jadi, kalau mau sehat ya olahraganya jangan ngoyo, intensitas sedang aja.
Intensitas sedang itu seperti apa? Seperti berolahraga tapi masih bisa disambi ngobrol, tidak ngos-ngosan, apalagi sampai sesak atau pengap. Jadi jika berolahraga menggunakan masker lalu sesak, artinya olahraganya sudah kelewatan. Tidak lagi sesuai dengan kemampuan tubuh.
Dalam konteks pandemi, kita harus berpikir bukan mengejar waktu terbaik, karena ini bukan kompetisi, dan tentunya mengurangi resiko menularkan dan tertular Covid-19. Jadi gaes, memakai masker itu WAJIB jika kita berolahraga di ruang publik. Dan jika merasa tidak nyaman atau sesak, hal yang yang paling penting: turunkan kecepatan atau beristirahat sebentar. Cari tempat sepi untuk menepi, atau sekiranya tak ada orang untuk bisa melepas masker dan menarik nafas sesaat. Setelah tenang baru dilanjutkan kembali.
Dan yang paling penting, kenali diri sendiri, kenali risiko kesehatan, dan kondisi tubuh sebelum mulai olahraga. Ada cara paling gampang, jawab pertanyaan ini nih. Jika ada yang jawabannya IYA, maka berolahragalah dengan intensitas rendah hingga sedang saja.
Ini misal ya, misal, kalau saat jogging sendiri, sepi, dan masih pagi buta, apa diperbolehkan tidak memakai masker ? atau bisa menjaga jarak 3-4 meter untuk jogging dan 10-20 meter untuk bersepeda, juga boleh tanpa masker? Terus yang meninggal kapan hari itu karena memakai masker saat berolahraga gimana ceritanya? Eits … solusinya bukan pada tidak memakai masker, namun lebih kepada mengenali kondisi masing-masing. Masker bukan penyebab utama, tapi bisa jadi ada faktor pencetus lainnya pada kondisi tertentu.
Kembali Ke Poin Utama
Poin yang mau dibahas saat ini adalah wajib memakai masker sebagai salah syarat terbitnya perizinan mendaki gunung. Setelah dibahas panjang diatas, kesimpulannya pemakaian masker ini untuk olahraga yang masuk kategori ringan hingga sedang. Nah ... mendaki gunung itu termasuk aktifitas berat loh, benarkan? Lalu, jangan dilupakan juga tentang KADAR OKSIGEN DI DATARAN TINGGI. Gunung itu termasuk dataran tinggi, iyakan.
Sampai disini bisa dipahamikan jika bahaya HIPOKSIA bisa terjadi kapanpun. Mengerti gak apa itu hipoksia? Menurut alodokter.com, hipoksia merupakan kondisi kurangnya pasokan oksigen di sel dan jaringan tubuh untuk menjalankan fungsi normalnya. Hipoksia merupakan kondisi yang berbahaya karena dapat mengganggu fungsi otak, hati, dan organ lainnya dengan cepat.
Gejalanya bisa muncul dan memburuk secara cepat (akut) atau bertahap (kronis). Beberapa gejala yang menyertai hipoksia, antar lain: napas pendek dan cepat, detak jantung cepat, warna kulit menjadi agak kebiruan atau dapat menjadi merah terang seperti buah ceri (tergantung penyebab dari hipoksianya), lemas, menjadi linglung atau bingung, kehilangan kesadaran, berkeringat, batuk, rasa seperti dicekik, dan napas berbunyi atau mengi.
Tunda Naik Gunung
Jadi saran buat sekalian yang memang ada niatan untuk merapat ke ketinggian, jangan naik gunung dulu, tundalah hingga pandemi ini berakhir. Gunungnya tidak kemana-mana kok.
Tapi gimana nih, sudah nafsu banget. Ya mau bagaimana lagi. Hal pertama yang harus dilakukan adalah riset mengenai gunung tujuan lebih mendalam, kali ini beserta altitude. Basecamp terletak di ketinggian berapa, campsite-nya ada berapa, serta variasi jalur seperti tanjakan dan turunannya. Disarankan, sebisa mungkin untuk menuju basecamp menggunakan kendaraan pribadi.
Pilihlah hari-hari yang sekiranya sepi dari pendaki atau setelah beberapa lama jalur pendakian dibuka, biasanya setelah 2 bulan atau lebih jalur pendakian sudah stabil pengunjungnya. Kenapa? Ya .. jalur sepi bisa meminimalisir bertemu dengan pendaki lain, bukan ?
Berangkatlah dalam kelompok kecil, idealnya 3-4 orang saja, agar manajemen perjalanan lebih enak. Usahakan tidak berjalan beriringan, apalagi bersama rombongan lain, bisa-bisa salah gandeng pacar orang lain nantinya, tambah ribet.
Tambahkan durasi perjalanan 1-2 jam jika dalam kondisi ramai. Tujuan agar tubuh tidak cepat lelah. Misalnya, jika biasanya dari Ranu Pani menuju Ranu Kumbolo memakan waktu 4 jam, maka jadikan 6 jam.
Sesampainya di campsite, aturlah jarak antara tenda kalian dengan tenda rombongan lain. Ini untuk meminimalkan kejadian-kejadian yang tidak diinginkan, seperti rombongan lain membuang ludah sembarangan atau tidak salah masuk tenda saat malam hari (ada yang pernah?) Wes ... pokoke jaga jarak, harga mati.
Jangan mendaki pada malam hari, terlebih dalam rombongan besar atau ramai pengunjung. Bisa dibayangkan, berjalan malam hari memakai masker di ketinggian dengan kadar oksigen tinggal 73%. Yang ada rebutan oksigen antara sama pendaki dan pepohonan.
Untuk itu selalu sediakan oxycan untuk masing-masing personil, tujuannya untuk mencegah hipoksia. Kapan kita mulai semprot oxycan saat mendaki? Saat mulai merasa terjadi gejala hipoksia seperti diatas tadi. Tentu tidak melupakan obat-obatan pribadi.
Bagi beberapa gunung yang mewacanakan wajib membawa surat bebas covid19. Lhaa ... jika hal ini diberlakukan, tolong jangan dipalsukan ! Ini semua demi memotong penyebaran virus Corona ... yo. Patuhi protokoler pendakian, tidak perlu melakukan hal yang merugikan orang banyak. Karena ini menyangkut keselamatan bersama, keselamatan orang-orang sekitar, penduduk sepanjang perjalanan, para penjaja sayur tempat restok logistik, petugas pos perijinan, dan lain-lainnya.
Sumber inspirasi :
Thread Twitter akun @NgalasAdventure (8 Juni 2020) dan @shopia_hage (7 Juni 2020)
0 komentar