Konservasi di Jaman Majapahit
Salah satu dokumen penting yang berkaitan dengan kebijakan konservasi alam adalah Prasasti Malang tahun 1395 dari jaman Kerajaan Majapahit. Dalam prasasti tersebut tertulis :
"Pemberitahuan kepada seluruh satuan tata negara si parasama di sebelah timur Gunung Kawi, baik di timur atau di barat batang air (Berantas; diberitahukan kepada sekalian Wedana, Juru, Bujut, terutama kepada Pacatanda di Turen. Bahwa telah kita perkuat perintah Seri Paduka Batara Pratama Iswara, yang ditanam di Wisnu-bawana dan begitu pula perintah seri paduka yang ditanam di Kertabuana, berhubungan dengan kedudukan satuan tata negara si parasame Katiden yang meliputi sebelas desa.
Oleh karena masyarakat itu berkewajiban mengamat-amati padang alang-alang di lereng gunung Ledjar, supaya jangan terbakar maka haruslah ia dibebaskan dari pembayaran pelbagai titisara. Selanjutnya masyarakat dilarang menebang pohon kayu dari hutan kekayu dan memungut telur penyu dan getan, karena larangan itu tidak berlaku padanya. Juga tidak seorang jua pun boleh melakukan di sana peraturan larangan berupa apa jua. Apabila keputusan raja ini sudah dibacakan maka Desa Lumpang haruslah menurutnya. Demikianlah diselenggarakan pada bulan pertama pada tahun Saka 1317".
Dari keterangan diatas dapat dilihat kebijaksanaan Kerajaan Majapahit dalam menyelamatkan sumber daya alamnya yaitu daerah aliran sungai dan segala isinya yang mendukungnya, dan disisi lain memberi solusi alternatif atas konsekuensi peraturan itu. Dari penggalan sejarah tersebut dapat disimpulakan bahwa sebuah kebijakan harus dipahami tujuannya, yaitu untuk kepentingan masyarakat, sehingga makna dari, oleh dan untuk rakyat, tidak terhenti pada tingkat slogan belaka, tapi terwujud nyata dalam realitas kehidupan.
Sumber : Dicukil dari "Berkaca di Cermin Retak, Refleksi Konservasi dan Implikasi Bagi Pengelolaan Taman Nasional", oleh Wiratno, dkk. Jakarta. The Gibbon Foundation Indonesia, PILI-NGO Movement. 2004.
0 komentar