Sejarah Hutan Alam di Pulau Jawa
Gradasi Penutupan Lahan Hutan di Jawa tahun 1891, 1963, dan 1987 |
Sejarah hutan di Jawa tidak dapat dipisahkan dari kisah pembabatan hutan tropis untuk menciptakan pusat-pusat kehidupan baru. Sejarah kerajaan besar Majapahit dan Mataram melibatkan pembabatan hutan secara berkesinambungan untuk pembangunan pusat-pusat pemerintahan.
Pada awal abad ke-19, Raffles memperkirakan 85% daratan Pulau Jawa masih ditutupi hutan lebat. Penebangan hutan-hutan secara intensif tidak hanya dilakukan oleh bangsa Belanda yangingin mencari keuntungan sebanyak-banyaknya, tetapi juga oleh bangsa pribumi yang jumlah penduduknya meningkat delapan kali lipat dalam satu abad.
Ekspansi perkebunan Belanda melalui Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) dengan modal besar dan alat-alat modern, misalnya, telah berperan penting dalam perusakan hutan yang kemudian diubah menjadi perkebunan. Lahan-lahan subur di dataran rendah dikonversi menjadi perkebunan tebu, sedangkan dataran tinggi diprioritaskan untuk perkebunan kopi. Kebijakan pemerintah kolonial ini menyebabkan bentuk-bentuk pemanfaatan lahan yang lain harus dikalahkan.
Menurut Junghuhn yang pernah mengelilingi Pulau Jawa pada tahun 1850-an, kehilangan hutan-hutan di pegunungan disebabkan konversi lahan menjadi perkebunan kopi dan eeskploitasi kayu bakar untuk mendukung industri gula yang berkembang saat itu. Sementara itu, Whitten (1994) menyebutkan bahwa faktor pertumbuhan penduduk merupakan penyeban utama proses deforestasi hutan-hutan alam di Pulau Jawa dan Bali.
Ketika Cultuurrstelsel dihapus pada tahun 1870, lebih dari 300.000 ha lahan telah berubah menjadi perkebunan kopi yang pengelolaannya dilakukan oleh perusahaan-perusahaan swasta. Karena kopi dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian 1.000-1.700 m, maka hutan alam pegunungan mengalami tekanan paling berat akibat penanaman kopi secara besar-besaran tersebut. Akibatnya, terjadi perubahan habitat dalam skala besar yang otomatis menggusur satwa liar yang ada di dalamnya.
Perubahan hutan alam P. Jawa secara drastis telah dimulai sejak abad ke-18 hingga abad ke-19, dimana ddari hutan seluas 10,6 juta ha pada abad ke-18 menjadi tinggal hanya 3,3 juta ha pada akhir tahun 1900-an. Dengan demikian dalam jangka waktu 100 tahun, pulai ini telah kehilangan hutan alam seluas 7,3 ha atau lebih dari 70%-nya. Pada periode 1850-1930 konversi hutan-hutan alam banyak untuk kepentingan pertanian dan perkebunan. Konversi ini bahkan masih terus berlangsung setelah kemerdekaan hingga tahun 1989, dan sejak saat itu grafiknya cenderung mendatar, karena memang kawasan yang akan dikonversi sudah habis.
Hutan-hutan dataran rendah juga menerima kenyataan serupa, bahkan lebih parah. Konversi di kawasan ini bahkan hingga 97% dari luas semula yang mencapai 109.067 km2. Ini tentunya merupakan kerugian yang sangat besar karena kawasan ini secara ekologis lebih kaya dibanding dengan hutan alam pegunungan.
Sisa kawasan hutan alam dataran rendah saat ini hanya dapat dijumpai di beebrapa tempat seperti TN Ujung Kulon, TN Baluran, dan TN Alas Purwo. Namun dari penelitian terakhir juga diyakini bahwa beberapa kawasan konservasi lainnya seperti TN Halimun, TN Meru Betiri dan kawasan hutan alam Pegunungan Dieng juga dianggap mewakili keberadaan hutan alam dataran rendah, yang terbukti masih dihuni oleh Owa Jawa dan Elang Jawa.
Sumber : Dicukil dari "Berkaca di Cermin Retak, Refleksi Konservasi dan Implikasi Bagi Pengelolaan Taman Nasional", oleh Wiratno, dkk. Jakarta. The Gibbon Foundation Indonesia, PILI-NGO Movement. 2004.
0 komentar