Mutiara dan Bencana Cendrawasih

by - March 15, 2013


Cendrawasih, burung dengan bulu berwarna-warni yang sangat indah hingga menutupi kakinya ini merupakan anugerah yang patut disyukuri penghuni pulau di ujung timur Indonesia. Predikat-predikat bernada kekaguman yang menempel padanya memang layak disandangnya. Secara ekonomi ia telah meyejahterakan penduduk bumi melalui perdagangannya yang melintas batas negara-negara. Keindahannya telah sejak sangat lama menjadi komoditas usaha dengan rantai ekonomi yang mendunia, mulai dari para pemburu lokal, Pmerintah Kolonial Belanda hingga perusahaan busana di Eropa, Amerika dan Kanada yang memanfaatkan bulu burung tersebut.


Keindahan cendrawasih, secara spiritual, juga mampu memberikan spirit dan rasa kekaguman kepada siapapun yang melihatnya. Hingga di seluruh dunia ia terkenal dengan nama "bird of paradise" (burung surga) atau "bird of God" (burung dewata).

Akan tetapi, keindahan itulah yang justru menjadi sumber malapetaka baginya. Eksploitasi besar-besaran telah mengancam eksistensi burung ini menuju kepunahan. Ikhtiarpencegahanpun telah dilakukan sejak lama oleh para pemerhati lingkungan dan ahli biologi dari dalam dan luar indonesia, melalui kampanye berskala nasional maupun global.

Tarik menarik antara ideologi ekspolitasi melawan ideologi preservasi (pengawetan) juga telah terjadi sejak lama, karena perburuan yang tidaak terkontrol mengakibatkan jumlah populasinya tidak dapat dipantau secara pasti. Hal itu tercermin pada isi berbagai Staatsblad jaman Belanda yang dipenuhi ambiguitas dan ambivalensi dalam pengaturan perburuan burung ini.

Pemanfaatan yang berkelanjutan tentunya merupakan alternatif yang terbaik. Karena di satu sisi, ia dapat menjaga keberlanjutan ekonomi pihak-pihak yang mengusahakannya, dan di sisi lain eksistensi burung Cendrawasih ini tetap terjaga. Logika ini merupakan satu-satunya jalan tengah diantara kedua kutub ideologi di atas.

Fenomena perburuan 

Cendrawasih ini, bagaimanapun juga, telah memberikan pengalaman yang sangat berharga bagi gerakan konservasi, baik di Indonesia maupun di dunia. Sejak tahun 1914, isu yang berawal dari keprihatinan akan kepunahan burung Cendrawasih ini bergeser menjadi isu lingkungan yang diterima masyarakat secara luas, tidak hanya nasional tapi juga internasional. Laju perburuan pada tahun 1912-1913, American Ban (Pelarangan komersialisasi Cendrawasih di Amerika) telah menyumbang banyak dalam hal ini, dibandingkan dengan peraturan-peraturan yang dikeluarkan Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1912.

Sumber : Dicukil dari "Berkaca di Cermin Retak, Refleksi Konservasi dan Implikasi Bagi Pengelolaan Taman Nasional", oleh Wiratno, dkk. Jakarta. The Gibbon Foundation Indonesia, PILI-NGO Movement. 2004.

You May Also Like

0 komentar