Suatu siang di sebuah kantor bertajuk Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Timur, tidak jauh dari Bandara Internasional Juanda. Sekonyong-konyong seorang pemuda yang usianya sudah tak tanggung lagi, memiliki hajat di kantor berwarna oranye itu. Tak lama, gak pakai sekonyong-konyong, dokter (satwa) Ja'far menemuinya, dan terjadilah percakapan berikut,
Muara Pantai Kondang Iwak |
Akhir Agustus lalu, saya menghabiskan beberapa hari kerja dengan menyusuri hutan lindung di Malang Selatan bersama beberapa rekan kerja dan teman dari The Aspinall Foundation Indonesia Programe. Bukan tanpa sebab kami berdelapan ini keluar masuk hutan, menyusuri pantai tak bertuan, dan berlelah-lelah hingga sore hari. Tahun ini kami harus melaksanakan program monitoring keberadaan Macan Tutul Jawa (Panthera pardus melas) di hutan lindung - Malang Selatan.
Ikan Baung |
Pernah terpikirkankah dari mana hewan-hewan peliharaan seperti kucing dan anjing ini berasal. Apakah sejak dahulu memang sudah jinak dan menjadi peliharaan manusia ? Nah, ternyata hewan-hewan peliharaan tersebut merupakan hasil domestikasi di zaman kuno.
Menurut Wikipedia, domestikasi atau penjinakan merupakan pengadopsian tumbuhan dan hewan dari kehidupan liar ke dalam lingkungan kehidupan sehari-hari manusia. Dalam arti yang sederhana, domestikasi merupakan proses "penjinakan" yang dilakukan terhadap satwa liar. Domestikasi pada satwa liar ini dilakukan manusia terhadap spesies hewan tertentu secara selektif dan prosesnya dilakukan secara turun-temurun serta memakan waktu yang sangat lama, bisa puluhan ribu tahun.
Domestikasi ternak diperkirakan dilakukan dalam kaitan dengan penyediaan sumber pangan, sandang (kulit, bulu, rambut yang dijadikan bahan pakaian), yang di kemudian hari dijadikan komoditi perdagangan. Namun, kegiatan domestikasi ini bukanlah seperti membalikkan telapak tangan, selain butuh waktu juga syarat atau kondisi yang yang harus dipenuhi.
Menurut ahli biologi Jared Diamond, ada enam kriteria yang harus dipenuhi pada suatu jenis satwa agar dapat dipertimbangkan untuk didomestikasi, seperti pakan yang mudah didapatkan, pertumbuhannya cepat, dapat berkembangbiak dalam penangkaran, tidak agresif, tidak mudah stres, dan memiliki hirarki sosial yang dapat dimodifikasi.
Karena syarat-syarat itulah, kebanyakan domestikasi dilakukan untuk keperluan kesenangan semata sebagai hewan peliharaan (pet). Selain itu domestikasi memerlukan puluhan generasi untuk mendapatkan galur-galur yang benar-benar adaptif dengan lingkungan buatan manusia.
Domestikasi Pada Ikan
Dalam sebuah webinar bertajuk “Domestikasi dan Regulasinya dalam Konservasi Satwa di Indonesia”, yang merupakan hasil kerjasama antara Yayasan Konservasi Elang Indonesia bersama Universitas Palangkaraya, 6 Mei 2021 yang lalu membahas mengenai usaha domestikasi terhadap satwa liar yang dapat dimanfaatkan.
Menurut Dr. Noor Syarifuddin Yusuf, S.Pi, M.Si, domestikasi dapat dijadikan cara untuk mempertahankan keberadaan plasma nutfah ikan-ikan lokal di suatu daerah sehingga dapat terus dimanfaatkan secara berkesinambungan. Ia-pun memberi contoh beberapa jenis ikan yang berhasil didomestikasi, seperti Jelawat, Papuyu, Gurami, Gabus, Patin Jambal, Patin Kunyit, Baung Sepat Siam, Belida, Labi-labi lokal, Udang Galah, Semah, Betutu, Sanggang, dan kelabau.
“Ada sekitar 21 jenis ikan lokar air tawar dari 40 jenis komoditas ikan yang dikembangkan sebagai sumber plasma nutfah untuk kegiatan budidaya”, ujar pria yang juga menjabat Ketua Jurusan Perikanan, Fakultas Pertanian - Universitas Palangkaraya.
Penentuan jenis komoditas, pemilihan teknologi pembenihan yang sesuai, dan pengelolaan kesehatan lingkungan yang tepat merupakan aspek penting dalam kesuksesan pengembangan ikan-ikan lokal sebagai ikan budidaya yang potensial.
Agus Irwanto
Foto : lalaukan.com
Yaak .. yaak .. yaak … bunyi riuh Kangkareng perut-putih tiba-tiba memecahkan keheningan Cagar Alam Pulau Sempu. Saat itu tim Resort Konservasi Wilayah 21 Pulau Sempu usai melakukan patroli rutin di Blok Pasir Putih dan hendak kembali ke Blok Waru-waru, tempat awal memulai patroli. Karuan saja keriuhan itu mengundang kami untuk mendekati beberapa pohon besar yang ada di depan.
tak dinyana seekor Sikep madu asia keluar dari persembunyian |
“Elang.. elang.. !” pekik Roggi dari arah atas bukit. Sejurus kemudian kutengadahkan kepala ke atas, dan benar saja, ada 3 ekor elang sedang melintas dari arah timur. Beberapa kali kuarahkan kamera, namun belum menghasilkan gambar yang diharapkan.
30 menit waktu berlari dari pukul 12 siang saat saya dan pak Miskan memutuskan untuk duduk di sebuah pohon roboh setelah puncak Putukan ditengah Pulau Sempu. Sebuah cagar alam yang tak jauh dari kota Malang. Sedangkan mas Hari dan Ardiyanto mengevakuasi sebuah camera trap yang kami letakkan di blok Baru-baru.
Usai memindahkan sebuah camera trap, kamipun memutuskan untuk kembali ke Teluk Semut melalui jalur yang berbeda dengan jalur patroli biasanya. Menurut Hari, sang kepala resort, jalur yang dimaksud merupakan jalur lama yang kondisi jalan setapaknya melebar sehingga nyaris tunas-tunas pohon tak dapat hidup karena tanah mengeras.