Belanda “Kiblat” Islam di Eropa

by - May 12, 2008


dakwatuna.com - Hari demi hari, komuitas muslim di Belanda mampu menghadapi beragam tindakan pelecehan dan penodaan terhadap agama Islam dengan dewasa. Boleh jadi kaum muslimin di sana berhak mendapat gelar ”Mujaddid Islam Di Eropa”. Mereka menolak film ”Fitna” dengan cara-cara simpatik dan kerja nyata. Mereka patut menjadi contoh bagi komunitas muslim di Eropa yang lain dalam membela Islam.
Penolakan dengan bukti nyata dan cara yang simpatik dari komunitas muslim di Belanda atas pelecehan itu, menjadikan mayoritas warga Belanda bersimpati terhadap muslim Belanda dan turut membela kesucian agama Islam dan menentang film ”Fitna”.
Ini dibuktikan oleh dua Universitas Di Belanda (Groningen University dan satu Universitas lagi) yang memfasilitasi tempat bagi mahasiswa muslim untuk menunaikan shalat. Managemen dua Universitas ini menegaskan menghormati semua agama. Bahkan dua Universitas ini secara khusus menetapkan waktu bagi mahasiswa muslim untuk melaksanakan shalat Jum’at, mencontoh yang berjalan di negara-negara Islam.
Muslim Belanda mengadakan beragam kegiatan ke-Islaman, seperti diskusi ilmiyah, dialog terbuka dengan ilmuwan, praktisi media Belanda, menjelaskan kepada mereka bahwa Al Qur’an merupakan kitab yang berisi ibadah dan hidayah.
Sebagaimana ”Organisasi Pemimpin” di Belanda menyerukan kepada seluruh umat Islam di Belanda untuk tidak berbuat anarkis dan kriminal atas pelecehan yang ada. Karena respon yang anarkis itulah yang diinginkan oleh pelaku fitnah dan pelesehan.
Sebuah tabloit di Belanda menyebutkan bahwa apa yang dikehendaki pembuat film ”Fitna” tidak terjadi, bahkan umat Islam merespon dengan dewasa, sehingga menjadikan warga Belanda menyerbu perpustakaan dan toko di Amsterdam. Warga Belanda membeli mushhaf Al Qur’an elektronik yang diterjemahkan dalam bahasa Belanda dalam jumlah besar. Bahkan di pasaran stok mushhaf itu habis.
Komunitas Muslim di Belanda menyadari bahwa Belanda adalah ” Negeri Sejuta Muslim”. Di mana jumlah umat Islam di sana terus bertambah dan penganutnya terkenal taat dengan ajaran agamanya secara baik dibandingkan dengan kelompok masyarakat lainnya.
Di Belanda, Jumlah muslim yang taat beragama sekitar 30% dari total jumlah penganut ajaran agama yang taat lainnya. Padahal statistik resmi mengisyaratkan bahwa jumlah umat Islam hanya 5% saja dari total jumlah penduduk. Menempati urutan keempat setelah Kristen Protestan 23%, Katolik 32% dan kelompok yang tidak menganut ideolagi apapun sebesar 38%.
Pada tahu 1947 warga negara Indonesia dan Suriname yang beragama Islam masuk ke Belanda. Pada akhir tahun enam puluhan dan awal tahun tujuh puluhan banyak pekerja dari Turki dan Maghrib yang masuk ke Belanda.
Komunitas Turki di Belanda paling besar jumlahnya, mencapai 310 ribu penduduk, berikutnya komunitas Maghrib 277 ribu warga, Suriname 60 ribu. Selebihnya dari Irak, Somalia, Pakistan, Mesir, Suria, Ethiopia, Negeria. Mayoritas mereka menganut ahlus sunnah.
Orang Belanda mengatakan bahwa negeri mereka adalah ”Pintu Gerbang Eropa”, karena posisi strategis dan peranan penting yang dimainkan oleh negeri ini. Banyak gereja-gereja yang dijual kepada umat Islam dan berubah fungsi menjadi masjid dan tempat ibadah.
Di awal komunitas muslim bermukim di Belanda, mereka berinteraksi dengan masyarakat setempat dengan baik, yang menjadikan warga setempat menghormati keyakinan umat Islam. Umat Islam mulai membangun tempat ibadah, diperbolehkan kumandang Adzan dengan pengeras suara meskipun sekali dalam seminggu.
Sebagaimana juga komunitas muslim mendirikan tempat pemotongan hewan sebanyak lima ratus tempat, praktek penyembelihan dengan cara-cara syariah, terutama pada musim kurban.
Sebagimana perusahaan-perusahaan dan tempat-tempat yang memperkerjakan umat Islam memberi kesempatan ibadah shalat, shaum Ramadhan, liburan khusus hari raya, memfasilitasi tempat shalat dan menjaga makanan yang halal.
Shalat Isya’ bagi warga Belanda terbilang cukup sulit, terutama akhir bulan Mei sampai awal Agustus setiap tahunnya. Di mana Belanda merupakan negeri yang terletak di bagian negara-negara yang matahari tidak tenggelam kecuali hanya sebentar saja. Yaitu jeda antara waktu Shalat Isya’ dan shalat subuh kurang dari empat puluh menit saja. Bahkan kadang fajar sudah terbit sebelum tenggelamnya syafaq (batas selesai waktu shalat Isya’). Hampir mustahil menunaikan shalat Isya’ bagi yang tinggal di ujung Utara.
Tambah sulit ketika ibadah shaum Ramadhan musim Panas. Yaitu sulit menunggu shalat Isya’ kemudian shalat tarawih kemudian langsung sahur pada waktu yang sangat singkat. Kadang kurang dari dua puluh menit saja. Berbeda dengan jeda antara shalat Maghrib dan Isya’ bisa berjam-jam. (it/ut)

You May Also Like

0 komentar