Pepsi Blue

by - December 08, 2011

"patah hatiku jadinya... kasih memutus cinta ...", kudendangkan lagu lama itu sambil menikmati udara malam yang masuk dari jendela kantor wawan ini. Cekikikan masih terdengar dari bibir fari dan wawan sambil sesekali memandang tyo yang mojok di pojok ruangan. Saya sendiri tidak habis pikir, bisa-bisanya malam ini terdampar di sini. Disebuah sudut areal pergudangan di Sepanjang Sidoarjo. Apalagi sepanjang siang hingga malam ini hujan seperti tak henti menghempas kota Surabaya dan Sidoarjo. Pandangan saya alihkan dari taman kecil diluar sana ke arah taman-teman saya yang masih asyik bercerita dengan melantai di bawah. Wawan, seorang pengusaha muda, disini sebagai tuan rumah, masih terus bercerita akan hidupnya. Fari, seorang wanita seumuran saya, sambil memeluk bantal panjang yang lusuh sesekali masih menimpali omongan wawan. Sedangkan seorang lagi, sang obyek penderita, tyo, 38 tahun, bujang hampir lapuk.

* * *

Pepsi blue botolan tampak bertebaran di atas meja dan lantai. Ruangan sesekali penuh dengan asap rokok. Empat bibir di ruangan ini tidak ada hentinya mengeluarkan asap. Sebuah exhaust yang menempel di dinding tampak tak berdaya mengurangi asap-asap ini, akhirnya dua buah jendela dan sebuah pintu dibuka lebar-lebar. Seteguk Pepsi Blue kualirkan kembali kedalam kerongkonganku. Pandanganku belum beralih dari wawan. Saya sempat tertegun... ternyata wawan berpoligami. Saking tertegunnya, saya mengalihkan pandangan ke dua bola mata milik Fari, ia seolah menangkap kekagetanku, dan saya terbelalak serta bertanya tanpa bersuara seolah tercekik, "dia beristri dua?!" Fari pun mengangguk.
It's ok, tapi saya tertarik dengan ceritanya.
Tetapi yang membikin saya lebih tertarik adalah prosesnya. Bagaimana ia dapat meyakinkan istri pertamanya bahwa tujuan poligaminya bukanlah seks yang menjadi utama. Karena justru istri keduanya lebih tua dari istri pertama dan seorang janda dengan membawa anak dari suaminya terdahulu.
Tyo tampak serius memperhatikan setiap detail cerita itu. Saya tidak dapat menangkap, dimana letak hikmah yang diambil bagi dirinya, diakan belum juga menikah. Apa wawan juga sedikit berlebihan menceritakan bagaimana ia dapat beristri dua kepada seorang tyo yang masih ting-ting itu. Tapi Tyo bukanlah tyo, kalau dia tidak selesai pada satu titik pengakuan bahwa sebenarnya ia sangat pemilih dan terlalu berencana.

* * *

"Saya merasa tidak punya waktu untuk mengenal lebih dalam lagi, tyo..", kubuka pembicaraan, seolah ini waktu saya untuk memberi pencerahan kepada si bujang yang hampir lapuk ini. "Betul kata wawan, rasakan deg-degannya, mana yang lebih kuat. Itu yang dipilih. kamu harus fokus pada satu wanita. Seperti ketika saya merasakan betapa galaunya saya saat wanita yang saya suka mengambil keputusan untuk pulang ke Jakarta dan tak balik lagi ke Malang. Saat itu saya ambil keputusan untuk menelponnya dan melamar dia." saya sempat mengatur nafas sebentar. "mau kah kamu menjadi istri saya. Yup istri, tyo. Saya tidak punya waktu untuk penjajagan atau pacaran. gile, saat itu usia saya sudah 29 tahun. hampir kepala 3. Saya harus cepat." kualirkan semua kepada tyo. Apa iya dia masih bisa menjawab. Wawan sempat menimpali masalah deg-degan itu tadi. Memang benar, kadang itu menjadi sebuah tanda, sebenarnya bagaimana hati kita terhadap wanita tersebut, tentu berbeda dengan perasaan yang biasa saja, so flat.

* * *

"Waktu di Jepang, saya pernah menjalin hubungan dengan cewek Jepang." Tyo mulai membuat mukadimah untuk sebuah pledoi dari yang ia rasakan kenapa ia belum juga menikah. "Setiap kamis dan jum'at, dia libur sehingga di hari itu aku memiliki kerjaan menjemputnya di stasiun, karena kita tinggal di kota yang berbeda. Ya begitulah gaya hidup di Jepang, apartemennya juga begitu, pun dengan hubungan kita. Hingga kita sampai pada suatu titik kita hampir melakukannya. ML...
"Awakmu ML opo gak sido?" tanya wawan mulai terbawa alur.
"Saya bisa berhenti dan tidak mau melakukan ML. Pikiran saya hanya satu. Lha lek dek e meteng trus yok opo? (lha kalau trus dia hamil gimana coba?)"

* * *

"Waaahhhh... aku ra iso mbayangno.. tyo, wes munggah sampe utek dadakno ra sido... byuuhhhh... ( wah saya tidak dapat membayangkan, sudah naik sapai otak kok gak jadi, byuh)", Fari mulai angkat bicara. Cewek yang pernah sekelas denganku kala masih memakai celana pendek biru ini menghisap rokok surya-nya dalam-dalam. Setengah gelas Pepsi Blue-nya pun tandas sudah. Beberapa tato menghiasi tangan, kaki dan tengkuknya. 
"Buhhh.. tak guwak lek lananganku ngono... mana tahan.. wes sampe utek kok ra sido ML.. ayolah tyo, don't be silly rubber your willy.."
Suasana semakin riuh oleh tawaku yang meledak, pun begitu dengan wawan dan tyo. "Ape lo kate, rubber your willy? huahahahaha...!!!"

* * *
"Saya tahu, kalian semua care kepada saya. Terima kasih buat itu semua. Tapi seperti juga kalian, saya tentu juga ingin menikah, dan itu pula yang membuat saya masih terus berusaha. Tapi tentunya kan lain caranya antara saya, Wawan, maupun Agus. Saya punya cara sendiri, baik itu diperkenalkan oleh keluarga, teman, dan taaruf."
Berikutnya saya sudah tidak konsen lagi dengan ucapan tyo, sebab beberapa kali Fari selalu memutus dan menimpali omongan tyo yang ia rasa tidak sesuai dengan jalan pikirannya. She is so liberal.

* * *

Awalnya, ruangan kantor kontainer ini dingin sampai-sampai saya harus memakai kembali jaket polar saya. Tapi dengan berjalannya diskusi yang alot dan ramai (walau kami hanya 3 lelaki dan seorang perempuan) namun justru diskusi itu membuat suasana kembali menghangat. Meskipun saya dan fari harus bolak balik ke kamar mandi karena beser. Dua botol besar Pepsi Blue hampir tak bersisa isinya. Puntung-puntung rokok nampak pasrah bermandikan abu di sebuah asbak yang sudah terlalu penuh sesak olehnya.

Udara diluar sudah terang ketika jam di tangan saya lirik menunjukkan pukul sepuluh malam. Wawan nampak membereskan sisa plastik pembungkus makanan kecil yang telah kami pindahkan ke dalam perut. Tyo dan Fari yang kompak bercelana pendek datang jauh-jauh dari Malang, pun tampak membereskan beberapa barang yang tercecer. Sedangkan saya masih asyik menghisap Djarum 76 milik Tyo yang tersisa. Banyak hal yang tidak bisa diungkapkan, dan banyak hal pula yang tercurah. Semoga malam ini bukan malam terakhir kami bertemu, walau beberapa hari lagi Fari harus kembali ke pelukan lelaki bulenya di Finlandia.
Kami tinggalkan kantor wawan yang berada paling ujung dari pergudangan ini. Licin dan gelap menghiasi jalan di antara tumpukan kontainer. Satu hal yang kami lupa malam itu adalah ... kami lupa makan malam. Dan saya terus menerobos dinginnya malam bersama blue scooter, dan masih melekat dalam pikiran saya  sederet kalimat nakal Fari yang terus terngiang di telinga, tapi apa iya juga terngiang di telinga Tyo, "saiki jek joko wes gak jaman ..!!".

You May Also Like

2 komentar