STOP Hobi Eksploitasi Elang Atas Nama KONSERVASI

by - April 15, 2013

Elang Dijual Online di Yogya, Berkedok Konservasi

TEMPO.CO, Yogyakarta - Aktivis perlindungan satwa menggelar protes untuk mendesak pemerintah mengawasi dan menindak aksi jual beli burung Elang yang selama ini berkedok komunitas konservasi.

”Akhir–akhir ini makin banyak orang dagang satwa mengatasnamakan komunitas konservasi. Itu eksploitasi,” kata aktivis Liga Anti Perdagangan Satwa Asman Adi Purwanto di kawasan Titik Nol Kilometer Yogyakarta Kamis 11 April 2013.

Puluhan pecinta satwa itu menggelar aksi diam untuk menyerukan agar masyarakat tak terkecoh dengan komunitas pedagang yang memakai istilah konservasi. Mereka memakai kacamata bergambar elang dan mengenakan kostum boneka mirip elang sembari membagikan selebaran.


Asman menuding Raptor Club Indonesia (RCI) kerap melakukan jual-beli elang dengan kedok konverasi. Menurut dia, komunitas itu mewajibkan   anggota memiliki satu satwa dilindungi. »Untuk atraksi berburu dengan elang. Setelah bosan mereka akan menjualnya,” kata dia. Menurut Asman, perilaku komunitas ini merupakan eksploitasi hewan secara terbuka.

Ironisnya, ujar dia, pemerintah lewat Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) justru menjalin kerjasama dengan komunitas ini. »Cabut segera perjanjian kerjasama BKSDA dengan RCI dan proses hukum pelaku jual beli elang itu,” kata Asman. Dia menyesalkan pemerintah melindungi RCI   melakukan eksploitasi.

Menurut dia, kelompoknya mencatat, perdagangan elang khususnya elang Jawa meningkat tajam lewat penjualan online pada 2012. Tahun lalu mereka melacak 30 transaksi online seharga Rp 5-10 juta per ekor. Asman mengatakan, Kepolisian Yogyakarta menangkap anggota RCI dengan barang bukti tiga ekor elang. ”Bisa dibayangkan, berapa banyak satwa dilindungi yang dieskploitasi dengan dijualbelikan,” kata Dessy Zahara Angelina Pane, aktivis Liga.

Sementara aktivis Raptor Club Indonesia cabang Yogyakarta Panji Arya Putra membantah tudingan Asman. »Nama kami sering diklaim demi kepentingan komersil oknum. Tidak ada kewajiban tiap anggota harus memiliki satu burung elang atau satwa dilindungi,” kata Panji kepada Tempo kemarin. Dia juga membantah anggota RCI terlibat penjualan elang lewat transaksi online. »Jika ada pun dilakukan dengan dasar adopsi, bukan untuk komersialisasi dan tak menutup kemungkinan untuk dilepas-liarkan.”


”STOP Hobi Eksploitasi Elang Atas Nama KONSERVASI!!!”

Akhir-akhir ini semakin marak komunitas yang menggunakan satwa dilindungi dengan mengatas namakan konservasi dan salah satunya yang terkenal adalah Raptor Club Indonesia. Komunitas tersebut memiliki sistem keanggotaan dimana masing-masing anggotanya memiliki minimal 1 (satu) ekor satwa dilindungi. Bisa terbayangkan berapa jumlah satwa dilindungi yang ada di komunitas tersebut.
Sumber Foto

Liga Anti Perdagangan Satwa (LAPS) terdiri dari JAAN, WCS, Suaka Elang, IAR, ProFauna Indonesia, LASA, COP, AFJ, FHK, PPSC, ASTI sebagai kumpulan berbagai organisasi peduli satwa sering mendapatkan pengaduan dari masyarakat tentang semakin sering dijumpai komunitas tersebut mengadakan gathering dengan membawa satwa tersebut dengan melakukan berbagai atraksi satwa.

Di masyarakat akhirnya muncul anggapan bahwa jika ingin aman memelihara elang di rumah maka mereka bisa bergabung dalam komunitas tersebut. Hal tersebut menyebabkan dalam beberapa tahun terakhir, tingkat penangkapan dan perburuan elang untuk perdagangan satwa semakin marak dengan target pasar adalah para penghobi atau pelaku falconry.

Adalah sebuah ironi, apabila tujuan dari falconry di Indonesia adalah untuk tujuan konservasi karena beberapa hal:

  1. Indonesia tidak memiliki budaya dan sejarah falconry, karena kedekatan masyarakat Indonesia dengan elang lebih cenderung pada kedekatan semiotika.
  2. Hampir sebagian besar satwa yang dijadikan falconry adalah satwa yang diambil dari alam.

Apabila kegiatan ini masih terus dilanjutkan, maka:

  1. Dampak dari introduksi budaya dari luar dalam hal ini budaya atau hobi atau olahraga Falconry semakin menambah berat beban upaya konservasi elang dan habitatnya di Indonesia, dengan semakin tingginya tingkat penangkapan dan perburuan satwa untuk diperdagangkan dengan pangsa pasar pelaku falconry atau falconer.
  2. Salah satu permasalahan dalam pelepasliaran kembali satwa ke habitatnya adalah elang tersebut terlalu jinak atau terlalu dekat dengan manusia, sedangkan inti dari falconry adalah “memanusiakan” dan “mendekatkan” elang dengan tuannya. Sehingga, proses untuk mengembalikan elang kembali ke habitatnya memerlukan  sumber daya yang besar dan waktu rehabilitasi yang cukup lama.
  3. Untuk memenuhi kebutuhan para falconer dari hasil penangkaran tidaklah semudah yang dibayangkan karena Indonesia belum memiliki kapasitas dalam program penangkaran elang, serta dibutuhkan sumber daya manusia dan sumber daya dana yang tidak sedikit.
Sumber Foto


Padahal secara jelas dan tegas dalam Undang-Undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya jo Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 menjelaskan bahwa semua jenis Elang dilindungi dan bahkan beberapa jenis elang menjadi simbol nasional atau simbol daerah, termasuk Elang Jawa yang dijadikan satwa langka nasional Indonesia. Sanksi hukum dalam aturan tersebut adalah maksimal pidana penjara 5 ( lima) tahun dan atau maksimal denda Rp. 100 juta rupiah bagi siapa saja yang menyimpan, memiliki, memelihara, dan memperniagakan satwa dilindungi.

Pembiaran aparat berwenang terhadap maraknya komunitas satwa dilindungi atau terkesan melindungi terhadap  komunitas tersebut membuat komunitas ini semakin tidak terkendali keanggotaannya hingga ke berbagai daerah. Tetapi tindakan tegas mulai dilakukan oleh Kepolisian Daerah Yogyakarta dengan mengamankan seorang pelaku komunitas elang atau Raptor Club Indonesia beserta barang bukti 3 (tiga) ekor Elang dan sampai sekarang proses terus berlanjut.

Rekomendasi LAPS terhadap maraknya komunitas tersebut adalah :

  1. Bubarkan komunitas yang mengatas namakan konservasi;
  2. Mendesak proses hukum terus berlanjut;
  3. Cabut perjanjian kerjasama antara BKSDA Yogyakarta dan RCI.


You May Also Like

2 komentar

  1. Aya-aya wae... para pelaku kejahatan di bidang kehutanan semakin pintar, termasuk dalam melakukan kamuplase eksploitasi menjadi konservasi. Salam lestari dari Sulteng Kang...

    ReplyDelete
  2. bener bos
    gimana tuh, LSM juga banyak yg abal-abal

    ReplyDelete