Menyusuri Ekosistem Hutan Hujan Tropis Gunung Picis

by - January 23, 2015


Langkah-langkah saya percepat, hujan semakin deras menerpa. Hypothermia jelas menghantui di setiap tarik nafas. Waktu setengah jam terasa lama untuk kembali keluar dari cagar alam ini, sedangkan hujan tak juga reda.


Hampir 13 tahun telah berlalu saat pertama kali saya mengunjungi kawasan ini, Cagar Alam Gunung Picis. Sebuah kawasan konservasi yang hanya seluas 27,90 hektar dan terletak di ketinggian 1.200 meter diatas permukaan laut (mdpl). Dari jalan penghubung antara Telaga Ngebel – Desa Gonodowido dan Desa Pupus, perjalanan menuju cagar alam dilanjutkan dengan menembus hutan produksi sejauh 750 meter. Yang menarik, lokasi cagar alam ini berada di lereng sebuah punggungan sehingga memudahkan perjalanan, cukup mengikuti punggungan tersebut. Perbedaan jenis tumbuhan dan kerapatannya akan terasa begitu tiba di pal 1, disini jelas sekali mana hutan produksi dan cagar alam.



Sepanjang perjalanan kami disuguhi deretan tumbuhan Morosowo (Engelhardis spicata), Pasang (Quercus sondaica), Dali (Radermachera gigantea), Nyampoh (Litsea glutinosa), Pulus (Laportea stimulans), palem-paleman, dan beberapa jenis anggrek tanah. Beberapa pohon tampak lebih menarik ketika ditumbuhi lumut dan juntaian daun-daun pakis serta tanaman merambat. Kehadiran beberapa jenis serangga dan burung membuat kami lebih bersemangat menyusuri jalur patroli cagar alam ini. Kadang langkah kami buat pelan tak bersuara, demi mengambil gambar seekor burung. Fajar beserta kamera canon-nya, Sinung mengandalkan kamera digital saku, sedangkan saya bersenjatakan handycam. Kami sama-sama ingin menghasilkan gambar yang menarik dari kawasan yang tak jauh dari Telaga Ngebel ini.

Pohon Roboh

Pak Nyomo, Kepala Resort Ponorogo Magetan, pemangku kawasan ini, mengeluarkan meteran dari ranselnya. Dia tampak mulai mengukur sebuah pohon roboh yang menghalangi jalur patroli. Sedangkan Sugiyanto, pamhut kawasan setempat, tampak mengeluarkan telepon selular untuk mengabadikan proses penghitungan volume pohon yang dilakukan pak Nyomo. Pohon roboh yang terjadi karena alam seperti ini harus segera dilaporkan, dan di dalam cagar alam pohon roboh berarti akan dibiarkan saja melapuk dengan alami.



Seperti halnya sebuah pohon roboh yang terletak beberapa puluh meter didepan, terlihat sudah sangat lama. Batang-batangnya yang terlihat rapuh semakin menarik ketika lumut mengambil alih setiap inci permukaannya. Berbagai jenis serangga tampak telah menjadikannya sebagai rumah, laba-laba dan kaki seribu. 

Beberapa pohon roboh juga merintangi selama perjalanan ini. Beberapa diantaranya hampir habis bersatu dengan tanah, beberapa yang lain masih cukup kokoh untuk diduduki guna melepas lelah.  

Berjumpa elang

Teriakan Sinung membuat saya sedikit kalap berlari menuruni punggungan menuju tempatnya bersama Fajar berdiri. Persis di batas kawasan ini, kami melihat seekor elang tampak mengejar mangsanya, seekor burung kecil. Segera handycam saya arahkan untuk mengambil gambarnya. Fajar yang sedari tadi sudah memicingkan matanya melalui kamera, berusaha meyakinkan saya bahwa kali ini “tangkapan” kami adalah seekor Elang Hitam, Ictinaetus malayensis.

Beberapa kali ia gagal menangkap mangsanya, dan beberapa kali ia mengepakkan sayapnya, itu berarti ia tidak berhasil mendapatkan temperatur yang baik untuk terbang. Tak berapa lama Elang tersebut melepaskan buruannya dan memilih soaring (terbang memutar) di atas cagar alam, kemudian turun ke arah Telaga Ngebel.

Beberapa waktu sebelumnya, Fajar sempat membuat saya terperangah ketika tangannya menunjuk ke arah seekor elang yang soaring di atas Cagar Alam Gunung Sigogor, sebuah cagar alam yang terletak tak jauh dari Cagar Alam Gunung Picis. Saking jauhnya, kamera miliknya tak mampu mengidentifikasi jenis elang tersebut. Tapi dengan handycam yang saya pegang, saya sangat yakin jenis elang tersebut. Elang Brontok, Spizaetus cirrhatus.

Hingga perjalanan hari itu akan kami akhiri, Fajar masih terpaku di tempatnya. Ia dengan seksama menyaksikan 2 ekor burung elang yang soaring jauh dibawah cagar alam menuju batas hutan lindung. Kecurigaannya ada sebuah sarang dari kedua burung elang tersebut yang tak jauh dari lokasi soaring-nya, ditambah pekik suaranya yang mirip anak ayam, kli.. kli.. kli. “Seperti Elang Jawa itu mas, ini kan pegunungan Wilis, salah satu spot habitatnya”, gumamnya kepada saya.



Basah

Kabut mulai menutupi kawasan di sekitar Cagar Alam Gunung Picis ini meski jam masih menunjukkan pukul 11 siang. Beberapa tempat tampat eksotik, pohon-pohon besar terlihat sedikit samar, punggungan yang ditumbuhi alang-alang mulai dialiri kabut. Suhu mulai merendah, dan langkah kami berhenti di sebuah pohon besar. Tak berapa lama hujan rintik-rintik mulai turun. Satu persatu personil mulai berkumpul dibawahnya, saya, Fajar dan Sinung. Sedangkan Pak Nyomo dan Sugiyanto belum terlihat.

hooooohhhhh..!” lengking saya, yang kemudian diikuti Sinung, tak berapa lama ada suara balasan dari kejauhan. Tampaknya pak nyomo menyautinya. Sejurus kemudian terlihat ia telah menggunakan ponco keluar dari semak-semak tak jauh dari kami. Sugiyanto berusaha mengikuti langkahnya dibelakang, dengan memegangi 2 buah daun pisang untuk melindungi kepalanya dari terpaan air hujan. Meski tampak sia-sia, karena hujan semakin deras. Inilah satu-satunya kesalahan kami hari itu, tidak membawa ponco ke Picis. 

Mengingat hujan yang tak kunjung reda, akhirnya kami menguatkan hati untuk menerobos dinding air ini menuju tempat dimana mobil patroli kami parkir. “setengah jam”, ujar pak Nyomo meyakinkan. Setengah jam didera air hujan pada ketinggian 1.200 mdpl.

Foto : Agus Irwanto, Fajar DNA, Sinung

You May Also Like

0 komentar