Ke Bali

by - October 11, 2025


Saat sore semakin tua, jari jemari saya masih sibuk mencari-cari foto-foto yang bisa menggugah semangat menulis bersinar kembali. Macam lampu petromaks yang berhasil dinyalakan saat maghrib menjelang tiba. Hingga kursor laptop berhenti pada sebuah foto, gundul, di sebuah warung kopi dekat penginapan di Denpasar, Bali.

Dua kali saya ke Bali, dan itu absurd semua. Gimana enggak, yang pertama gegara Tsunami Banyuwangi yang terjadi pada awal Juni 1994. 

Awalnya, saya bersama beberapa (baca: banyak) mahasiswa UMM pergi  ke lokasi tsunami untuk memberikan bantuan dari kampus. Yang lucunya, saat kita tiba besok paginya, sudah disambut pihak Pemda Banyuwangi di lokasi. Lha, mereka tahunya di koran Jawa Pos bahwa kami akan memberikan bantuan dari kampus. Pembawa bantuan belum tiba, beritanya sudah tiba duluan.

Balik ke cerita Bali, saat pulang kita melalui Ketapang, karena hari masih siang, berlari-larilah kami mengejar feri penyeberangan yang hendak berangkat ke Gilimanuk. Sesampainya di pelabuhan, kami langsung cari pure, foto-foto bersama, trus balik nyeberang lagi ke Ketapang. Ra jelas blas.

Nah yang kedua ini juga tak direncanakan. Ada perintah dari kantor untuk melakukan pengantaran satwa liar ke Bali. Maka diuruslah pengiriman satwa melalui kargo di Bandara Juanda. Nah lucunya, satwa sudah berangkat, saya dan Syam belum bisa berangkat karena belum dapat tiket. Eng ing eng, hingga akhir pekan seluruh tiket pesawat dari Juanda ke Denpasar sudah habis.

Tak mau ketinggalan yang kedua kalinya, kami segera bergegas ke Terminal Bungurasih untuk mengejar Bis ke Denpasar. Karena setahu saya, bis-bis menuju Denpasar itu adanya sore, dan waktu saat itu telah terlalu sore. Syukurnya, kami masih mendapatkan bis ke Denpasar, meski bis yang sisa-sisa.

Malang, 11 Oktober 2025
sumuk

You May Also Like

2 komentar