Semenjak Abad 16 Narkoba Sudah Ada Dan Dikonsumsi Penduduk Pulau Jawa

by - May 21, 2012

Pengguna opium di Jawa Tahun 1875
(Koleksi www.kitlv.nl)
Orang Jawa sudah menggunakan opium jauh sebelum kedatangan Belanda. Begitu menurut James R Rush, penulis buku Opium to Java (1990). Maka setelah Belanda mendarat di Pulau Jawa pada awal abad ke-17, mereka bersaing dengan pedagang Inggris untuk merebut pasar opium di Jawa. 



Pada 1677, Kompeni Hindia Timur Belanda (VOC) memenangkan persaingan ini. Kompeni berhasil memaksa Raja Mataram, Amangkurat II, menandatangani perjanjian yang menentukan. Isi perjanjian itu adalah: Raja Mataram memberikan hak monopoli kepada Kompeni untuk memperdagangkan opium di wilayah kerajaannya. 

Setahun kemudian, Kerajaan Cirebon juga menyepakati perjanjian serupa. Inilah tonggak awal monopoli opium Belanda di Pulau Jawa. Hanya dalam tempo dua tahun, lalu lintas perdaganfan opium meningkat dua kali lipat. Rata-rata setiap tahun, 56 ton opium mentah masuk ke Jawa secara resmi. Tetapi, opium yang masuk sebagai barang selundupan bisa dua kali lipat dari jumlah impor resmi itu.

Pada awal 1800, peredaran opium sudah menjamur di seluruh pesisir utara Jawa, dari B`tavia hingga ke Tuban, Gresik, Surabaya di Jawa Timur, bahkan Pulau Madura. Di pedalaman Jawa, opium menyusup sampai ke desa-desa di seantero wilayah Kerajaan Surakarta dan Yogyakarta. Di Yogyakarta saja terdapat 372 tempat penjualan opium. 

Pada masa itu, mengisap opium seperti menjadi ciri umum kehidupan kota dan desa. Opium dipasarkan bahkan sampai ke tengah masyarakat desa yang tergolong miskin. Pesta panen, misalnya, seringkali dibarengi dengan pesta candu. Bahkan dalam hajatan pernikahan, tak jarang tuan rumah menyediakan candu untuk para tetamu yang dikenal sudah biasa menghirup madat. Para pemimpin desa pun dijamu dengan cara ini.

Hampir di setiap desa ada pondok tempat mengisap opium. Orang Jawa membeli opium dengan duit yang didapat dari memeras keringat sebagai petani, pedagang, buruh, dan kuli perkebunan. Padahal, penghasilan seorang buruh pada 1885 rata-rata hanya 20 sen per hari. 

Sementara itu, belanja opium rata-rata orang Jawa pada masa itu mencapai 5 sen per hari. Artinya, sekitar seperempat pendapatan dijajakan untuk opium. Diperkirakan, satu dari 20 lelaki Jawa mengisap opium hanya sebagai kenikmatan sesaat, tak sampai terjerat menjadi pecandu. Ibarat kata, kedudukan opium pada masa itu mirip dengan posisi rokok pada masa kini. Di kalangan kaum bangsawan, opium bahkan memberikan corak tertentu pada gaya hidup yang sedang berkembang. Opium dipandang sebagai piranti keramah-tamahan dalam kehidupan bermasyarakat. Di pesta-pesta kalangan atas, para tetamt pria disuguhi opium.

Pengguna opium di Jawa Tahun 1897
(http://bataviadigital.pnri.go.id)
Di kalangan masyarakat Cina masa itu, mengisap opium malah bisa dikatakan sudah menjadi semacam ”kebudayaan”. Baik untuk kalangan yang tinggal di kota besar, maupun di kota kecil dan pedesaan. Para hartawan Cina menikmati opium di rumah mereka, atau di klub-klub opium yang bersifat eksklusif. Sedangkan Cina miskin mengisap opium di pondok-pondok opium umum, bersama penduduk setempat. 

Para bandar opium yang ditunjuk Belanda pada umumnya juga orang Cina. Mereka diserahi tugas memproduksi dan menjalankan peredaran opium di dearah tertentu. Penunjukan ini dilakukan lewat lelang, yang berlangsung di pendapat kediaman resmi para bupati setempat. Ketika lelang berlangsung, berkumpullah para bupati, pejabat kolonial, dan para pedagang Cina.

Para bandar opium pada masa itu sekaligus merangkap ”opsir” Cina. Pangkat ini tidak ada hubungannya dengan dunia kemiliteran, meskipun pangkat itu mulai dari ”luitenant” (letnan), ”kapitein” (kapten), sampai ”mayoor” (mayor). Para ”opsir” ini hanya ditugasi memimpin komunitas Cina di kota tertentu. Bandar opium terbesar adalah Mayor Oei Tiong Ham dari Semarang yang kemudian menjadi lebih terkenal sebagai “Raja Gula”. 

Oei Tiong Ham menjadi bandar hingga tahun l910. Mereka mengenakan pakaian kebesaran, lengkap dengan lambang kekuasaan dan pengawalnya. Banyak yang dipertaruhkan di meja lelang. Bagi residen Belanda, penawaran tertinggi berarti sumbangan melimpah akan masuk ke pundi-pundi pemerintah. Hal ini ditafsirkan sebagai sebuah keberhasilan pemerintah. Sebab, pajak opium dijadikan alat ukur bagi kemakmuran wilayah.

Nilai pajak dalam lelang biasanya sangat menakjubkan. Pajak bandar opium di Semarang pada 1881 yang mencapai 26 juta gulden. Pendapatan dari penjualan opium ini telah menyumbang 15% dari total pendapatan pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 1920-an yaitu hampir 30 Juta Gulden. Angka ini melebihi pendapatan dari ekspor perkebunan Kina. 

Pendapatan dari opium ini banyak membantu keuangan pemerintah Kolonial Belanda pada masa resesi ekonomi. Dari pajak yang dikutip dari para bandar opium ini saja, pemerintah kolonial Belanda sudah mampu membayar gaji seluruh pegawainya di Hindia Belanda. Bahkan banyak kantor Belanda, termasuk kantor Gubernur Belanda, yang kini menjadi istana, sebagian dananya diperoleh dari pajak opium.

Pola pengendalian peredaran narkotika di Indonesia masa kini, kurang lebih sama dengan di zaman Belanda. Bedanya cuma tipis. Di zaman Belanda keterlibatan pejabat pemerintah adalah terang-terangan, karena opium dilegalkan. Sekarang, jejak aparatur negara cuma tidak terang-terangan, tetapi baunya sungguh menyengat. Terima kasih atas partisipasinya merusak bangsa sendiri.

(Priyono B. Sumbogo wartawan Forum Keadilan dan ex Wartawan Majalah TEMPO)

You May Also Like

3 komentar

  1. Wah rupanya begitu ya, sdh ada ciakl bakalnya sejak dulu toh.
    kalo yg bagusnya sih "say no to drugs" aja lah biar hidup sehat, aman gak diuber-uber pak pol, dan juga gak banyak ngeluarin duit, maklum pegawai kecil...

    ReplyDelete
  2. Kunci keberhasilan adalah menanamkan kebiasaan sepanjang hidup Anda untuk melakukan hal - hal yang Anda takuti.
    tetap semangat tinggi untuk jalani hari ini ya gan ! ditunggu kunjungannya :D

    ReplyDelete
  3. @noer : yes bro. jauhi narkoba.
    @outbond : hidup sehat itu pasti

    ReplyDelete