Panggilan dari Masalembu

by - August 10, 2015

Kakatua Kecil Jambul Kuning (Cacatua sulphurea abotti)

Kaaaakkk ! kaaakk ! dua ekor burung Kakatua Kecil Jambul Kuning terbang 
di atas kami, seolah menyambut kedatangan rombongan tim sore itu. 
Ini ketakjuban saya yang kedua setelah takjub dengan indahnya pantai 
tempat kapal yang membawa kami bersandar di sisi utara Pulau Masakambing



Taksi, transportasi dari Pulau Masalembu ke Pulau Masakambing

Tiba-tiba asap diesel mesin kapal motor memenuhi setiap kubik ruang nafas. Kepanikan mulai memuncak di antara kami, terlebih separuh dari tim ini baru pertama kalinya ke Masalembu. Sesaat kemudian, hoeekkk, Agus Uwais, anggota tim yang juga seorang mapala, mengeluarkan muntahannya. Wajahnya begitu pucat pasi. Sedangkan ombak tetap terasa mengocok isi perut kami, tiada henti.

Asman, anggota tim yang juga seorang pengamat burung, akhirnya bisa menikmati perjalanan 2 jam terakhir kami. Terpal penutup terpaksa kami buka untuk memberi udara masuk ke dalam kapal. Deburan ombak yang tadi terasa menakutkan, kini bagai irama yang mengiringi perjalanan kami dari Pulau Masalembu Besar ke Pulau Masakambing, tujuan akhir kami. Dan bagi Asman ini kali kedua ia terlibat dalam kegiatan monitoring Cacatua sulphurea abotti . Inilah habitat terakhir bagi burung paruh bengkok tersebut di Kepulauan Jawa !

***

Pantai Utara Pulau Msakambing, tempat perahu berlabuh

Ini ketakjuban saya yang kedua setelah takjub dengan indahnya pantai tempat kapal yang membawa kami bersandar di sisi utara Pulau Masakambing. Ya, bersandar di pasir pantai bukan di dermaga. Disambut beberapa warga desa yang lebih mengenal kami dengan sebutan “wartawan beka”. Di pulau ini, burung Kakatua tersebut lebih dikenal dengan istilah beka, dan kami dianggap wartawan khusus beka, ini lebih disebabkan peralatan yang selalu kami bawa kemana-mana berupa kamera serta binokuler.

Fajar, koordinator tim, telah membagi anggota tim yang berjumlah 11 orang ke dalam beberapa pos pengamatan. Tim semakin bertambah, karena masuk juga Usman Daeng Mangung, penduduk lokal keturunan Bugis, yang sejak awal ikut mendukung kegiatan kami. Pos-pos pengamatan biasanya tersebar di seluruh pulau, ini juga tergantung pada ada tidaknya “pohon tidur” di sekitar lokasi. Istilah pohon tidur berarti tempat burung kakatua menghabiskan waktu malamnya, bisa untuk bersarang dan berkembang biak juga. Biasanya pohon tidurnya dari jenis Randu, Avicenia (mangrove), dan juga Sukun. 

Dalam satu pos ada yang dijaga oleh 2 orang, tapi kebanyakan di jaga satu orang anggota tim saja. Saya sempat keki karena harus sendirian berada di pos mangrove sekitar tambak pak Daeng. Ketika orientasi lokasi sore hari, pos ini dikepung mangrove jenis bakau dan avicenia. Akar-akar mangrove yang “berbagai pose” jelas mempersulit posisi saya jika dalam keadaan “darurat”. Belum lagi harus mendengarkan teror dari pak Abdurahem, Kepala Resort Sumenep, yang tahun ini kali ketiga ikut serta. Terornya berisi cerita-cerita mistik di hutan mangrove pulau ini, dan lagi-lagi sepertinya diamini pak Usman. Hanya saja  fajar pandai membangkitkan semangat kerja saya dengan kata-kata “disiplin dan moralitas”, hallah pret.


Sepanjang jalan di Pulau Masakambing,
berhiaskan pohon kelapa dan tumbuhan pakis

Pengamatan kami bertumpu pada waktu-waktu tertentu saja. Di pagi hari, sebisa mungkin kami berangkat kala mentari belum terbangun, dan diakhiri saat matahari telah setinggi tombak. Saat sore harinya, pengamatan kami mulai saat Ashar tuntas kami laksanakan hingga gelap mulai memeluk pulau ini. Saat itulah para beka kembali ke pohon tidurnya masing-masing. Tapi itu teori, banyak kejadian hingga isya’ menjelang para beka masih kelayapan hingga mengacaukan perhitungan kami. Jika sudah begitu, tim terbang yang beranggotakan Fajar dan pak Usman akan keliling pulau untuk memastikan istirahat dimanakah para beka yang mbalelo tadi. Maka, bisa dipastikan makan malam kamipun bisa molor hingga pukul 10.

***

Setiap pos mencatat kegiatan apa saja para beka di lokasi tersebut, mulai waktu, jumlah, dan aktivitasnya. Jika mereka terbang maka akan terbang ke arah mana atau ke arah posnya siapa. Jika mereka datang, datang dari arah mana. Semua ini dilakukan untuk menghindari penghitungan ganda pada individu yang sama.

Malam harinya, kami dibuat ngebut memasukkan data-data setiap pos ke dalam laptop. Ini dikarenakan, listrik di pulau ini hanya menyala mulai pukul 17.00 hingga 22.00 WIB. Dan itu sangat sempit bagi kami yang terbiasa dengan menggunakan listrik tanpa batas waktu.

Setelah seluruh data dimasukkan dengan format yang telah tersedia, maka dapat diketahui jumlah burung Kakatua Kecil Jambul Kuning anak jenis abotti sebanyak 23 ekor. Ini berarti “hanya” meningkat 1 ekor dibanding tahun 2013 kemarin. Tetapi beberapa catatan menyertai kesimpulan kami, antara lain adanya blank area seperti wilayah Tanjung di sisi selatan pulau yang kurang terawasi dan belum dijumpai adanya pohon tidur. Catatan lain, saat tim melakukan monitoring bertepatan dengan masa berkembangbiak, sehingga dimungkinkan adanya individu-individu yang tidak terpantau karena selalu berada di dalam lubang sarang.

***

Sebagai program kerja yang memonitor perkembang satwa prioritas, saya memandang tim monitoring kakatua ini lebih berbeda. Selain faktor daerah monitoring yang kadang mendengarkannya saja sudah bikin ciut nyali, juga faktor lamanya waktu yang digunakan.

Tahun 2014 tercatat dimana tim pelaksananya terbanyak, 11 orang. Dan keberagaman latar belakangnya juga menarik. Mulai dari pak Abdurahem dan Resia yang Polisi Kehutanan, Fajar dan Dhany yang Pengendali Ekosistem Hutan, dan Didik “temon” CPNS Penyuluh Kehutanan. Belum lagi barisan volunteer seperti Asman dan Zulfikar yang bergelut di bidang birdwatching, Agus “Babi” yang mapala, Topan anggota Saka Wana Bakti, dan Yogie, anggota tim termuda yang baru lulus dari SMK Kehutanan Kadipaten.

Beruntung untuk pulang kembali ke Pulau Jawa, kami mendapatkan Kapal Motor Perintis Sabuk Nusantara 27 yang akan berlabuh di Tanjung Perak. Itu berarti 16 jam perjalanan laut akan kami lakukan, ditambah 2 jam menyeberang dari pulau Masakambing ke pulau Masalembu Besar.

Tidak saya dapati muka-muka penat, yang ada hanyalah kegembiraan usai menjalankan misi ini. Sebuah misi idealis yang membuat kami lebih mengerti bahwa konservasi jenis burung ini tidaklah mudah. Banyak kendala dan harapan terpetik di dalamnya. Apalagi sebelum pulang, kita nikmati dulu sajian kepala kakap merah dan kepiting Masakambing yang super besar dan lezat. Sampai berjumpa kembali tahun depan wahai beka, penghuni angkasa masakambing.

You May Also Like

0 komentar