Dilarang Masuk! Khusus Maleo
Kelompok konservasi Amerika Serikat membeli sebuah pantai tempat maleo bertelur di Sulawesi Utara untuk melindungi habitat burung dilindungi itu.
JAKARTA --Entah siapa yang lebih dulu menemukan pantai berpasir lembut yang selalu bermandikan cahaya matahari itu, tapi Pantai Binerean tak ubahnya sebagai "rumah bersalin" bagi maleo dan penyu laut. Burung maleo (Macrocephalon maleo), misalnya, rutin menggali dan mengubur telurnya di pantai tersebut setiap musim bertelur. Pantai yang terletak di Tanjung Binerean itu juga dikenal sebagai tempat bertelur favorit bagi penyu hijau, penyu belimbing dan penyu lekang.
Reputasi Pantai Binerean sebagai nesting ground atau tempat bertelur bagi beberapa jenis binatang, khususnya maleo, itulah yang membuat beberapa lembaga konservasi tertarik menjadikan kawasan tersebut sebagai pantai pribadi maleo. Pantai berpasir putih sepanjang 2,7 kilometer itu terletak sekitar 300 kilometer dari Manado, Sulawesi Utara.
Kini pantai seluas 14 hektare itu dimiliki oleh Pelestari Alam Liar dan Satwa (PALS), sebuah lembaga swadaya masyarakat setempat yang bekerja sama dengan Wildlife Conservation Society (WCS) untuk melestarikan satwa liar di Sulawesi. Mereka sengaja membeli pantai di desa Mataindo, Kecamatan Pinolosian Timur, Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan, itu untuk melindungi habitat maleo.
WCS, lembaga konservasi yang berbasis di Amerika Serikat, mengatakan pantai yang berada sekitar 100 kilometer dari Tambun Nesting Ground di Kecamatan Dumoga Timur, Bolaang Mongondow, itu dipilih karena di dalamnya terdapat sekitar 40 sarang maleo. "Melindungi pantai ini hanyalah tahap pertama dari proyek konservasi komprehensif untuk melestarikan maleo," kata Noviar Andayani, direktur program Indonesia WCS. "Dari seluruh daerah jelajah burung tersebut, hanya sedikit tempat bertelur yang masih ada, kurang dari 100 situs sehingga setiap sarang amat berarti."
Kelompok lingkungan tersebut mengumpulkan uang sebesar US$ 12.500 atau sekitar Rp 129,6 juta untuk membeli pantai yang terletak di kawasan terpencil Sulawesi Utara itu. Dana itu didonasikan oleh Lis Hudson Memorial Fund dan perusahaan Quvat Management dari Singapura. Proyek itu juga memperoleh dukungan melalui Van Tienhoven Foundation dari Belanda. "Kawasan perlindungan itu telah membangkitkan kesadaran tentang burung tersebut," kata John Tasirin, koordinator program WCS di Sulawesi.
John menyatakan selain berpasir putih, pantai itu tempat yang menyenangkan untuk berenang dan menyelam dengan temperatur air yang tak pernah turun di bawah 25 derajat Celsius. Di balik perkebunan kelapa terdapat hutan lindung seluas 100 hektare. Walaupun tak terlampau luas, kawasan hutan itu adalah koridor yang penting bagi maleo untuk mencapai hutan lebat.
Hutan itu juga membuka kesempatan bagi maleo untuk bergabung dengan populasi maleo lain di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone yang berjarak 12 kilometer dari hutan tersebut. Namun, hingga saat ini belum diketahui apakah populasi burung maleo yang bertelur di pasir pantai ini bercampur dengan kelompok maleo yang bertelur di tanah vulkanis di dalam hutan.
Meski pantai Binerean cukup terpencil, bukan berarti kawasan itu steril dari aktivitas manusia karena ada tak jauh dari pantai terdapat perkebunan kelapa penduduk. "Tetapi, tanah di sekitarnya belum banyak ditanami," kata John.
John menyatakan kawasan perlindungan itu amat signifikan karena manusia adalah ancaman terbesar bagi pelestarian burung yang terancam punah itu. Penduduk desa kerap menggali lubang dan mengambil telur maleo untuk dimasak atau dijual. Telur maleo sering menjadi incaran penduduk karena ukurannya yang beberapa kali lipat telur ayam sehingga harganya tinggi, bahkan setara dengan satu kilogram beras.
"Populasi maleo terus menurun," kata Martin Fowlie dari BirdLife International. "Sehingga upaya perlindungan seperti apa pun akan amat berguna."
Walaupun pantai yang dibeli lumayan luas, WCS sama sekali tak menemui kendala dalam negosiasi jual-beli pantai dan kebun kelapa itu dari penduduk desa Mataindo. Salah seorang pemilik tanah, Papa Bakrie, memang ingin menjual tanah itu karena lahan itu terpencil dan putranya tewas tenggelam di rawa dekat tempat maleo bertelur. "Pemilik tanah lainnya juga punya alasan bagus untuk menjual propertinya seperti hendak bercerai dan pindah ke daerah lain," kata John.
Program ini mendapat banyak dukungan dari penduduk maupun pejabat setempat. Upacara adat desa yang digelar tim WCS pada 4 Mei lalu dihadiri puluhan pemuka desa dan tokoh agama, termasuk Kepala Desa Mataindo dan camat Pinolosian Timur. Perayaan peluncuran Program Konservasi Maleo sekaligus status baru pantai itu sebagai kawasan perlindungan maleo ditandai dengan pelepasan empat ekor anak maleo yang baru menetas.
Pada kesempatan itu mereka juga melepas 98 tukik penyu lekang, penyu hijau dan penyu belimbing, yang menetas sehari sebelumnya, ke laut. Selain melindungi sarang maleo, tim WCS turut menjaga sarang penyu, yang musim kali ini menghasilkan 500 tukik.
Untuk menjaga pantai tersebut dari tangan jahil manusia, WCS melatih seorang penduduk setempat. "Dahulu dia adalah pengumpul telur sehingga ahli dalam mencari telur kini dia melindungi sarang maleo," kata John. "Setiap hari dia harus memonitor kedatangan maleo dewasa, kapan mereka bertelur dan kapan telur itu menetas. Berbeda dengan nesting ground lain, telur maleo di Binerean tetap dibiarkan di dalam pasir."
Penjaga sarang maleo itu juga bertugas mengurus kebun kelapa yang ada di situs tersebut. Kebun itu menghasilkan lebih dari 10 ribu butir kelapa per tahun. "Uang hasil panen kelapa nantinya dipakai untuk mengupah petugas yang menjaga pantai itu," kata John.
John mencatat, dalam musim bertelur tahun lalu, pada 1 November-31 Desember, mereka menemukan 43 butir telur. Sebanyak 90 pasang maleo terlihat di daerah itu. "Jika diasumsikan bahwa pasangan maleo bertelur dalam interval dua bulan, telur yang dihasilkan amat banyak," katanya.
Sayangnya, masa maleo bertelur di Binerean berbeda dengan tiga nesting ground yang dikelola WCS di Tambun dan Muara Pusian di Bolaang Mongondow dan Hungayono di Gorontalo. Bila di ketiga tempat itu hampir sepanjang tahun bisa ditemukan anak maleo yang menetas dari dalam tanah, masa maleo bertelur di Binerean hanya terjadi pada November-Mei, sedangkan antara Juni dan Oktober hampir tidak ada maleo yang bertelur.
Pantai pribadi maleo ini bukanlah proyek pertama WCS di Indonesia. Sejak 2004 lalu, lembaga konservasi itu aktif melindungi sarang maleo, terutama mencegah para pemburu mengambil telur secara ilegal. Tahun ini, para staff WCS di Indonesia akan merayakan pelepasan 5.000 anak maleo sebagai bagian dari rencana pemulihan spesies terancam punah itu.
Melindungi Telur Maleo dari Penggorengan
Induk maleo kini tak perlu khawatir lagi meninggalkan telurnya terkubur dalam lubang pasir yang hangat. Sarang-sarang maleo yang tersebar di sepanjang Pantai Binerean kini aman dari pencurian dan penjarahan sejak kawasan itu ditetapkan sebagai pantai pribadi maleo.
Sepanjang hari telur-telur mereka akan dijaga oleh seorang petugas. Lembaga konservasi Wildlife Conservation Society (WCS) dan Pelestari Alam Liar dan Satwa (PALS) bekerja bahu-membahu melindungi kawasan yang diperkirakan berisi 40 sarang maleo itu.
Biasanya, maleo akan menggali lubang lebih dari setengah meter untuk menyembunyikan telurnya dari binatang predator. Sekitar 60 hari kemudian, telur itu akan menetas. Istimewanya, begitu keluar dari telurnya, anak-anak maleo langsung bisa terbang dan mencari makanan sendiri.
Berbeda dengan anak unggas lain yang masih berbulu halus dan perlu berhari-hari untuk berganti bulu, sayap anak maleo telah tumbuh sempurna. Kecepatannya berlari dan terbangnya juga sudah semahir unggas dewasa. Itu semua berkat nutrisi dalam telur maleo yang bisa lima kali lipat dari ukuran telur ayam, tapi membuat telur itu juga diincar manusia untuk dijual maupun dikonsumsi.
John Tasirin, koordinator program WCS di Sulawesi, amat optimistis status baru pantai di Tanjung Binerean itu bisa menjamin kelangsungan hidup burung yang menjadi simbol kekayaan sumber daya hayati di Sulawesi tersebut. Mereka juga membangun sebuah stasiun riset sederhana di lahan itu.
"Tanah itu terisolasi, tak ada jalan yang menghubungkannya ke jalan besar sehingga amat menguntungkan bagi upaya konservasi yang kami lakukan," katanya. "Untuk mencapai tanjung tersebut, orang harus berjalan kaki dari Desa Mataindo dengan menyeberangi anak sungai dan sebuah sungai besar.
Binerean, kata John, adalah lokasi yang amat potensial untuk menyelamatkan sarang tempat maleo bertelur. Burung seukuran ayam dengan dahi yang seolah sedang memakai helm hitam itu memang amat pemilih. Dia tidak bisa bertelur di sembarang tempat.
Satwa endemik Sulawesi itu hanya mau bertelur di tempat yang memiliki sumber panas bumi atau di pantai berpasir yang hangat. Salah satu tempat bertelur maleo yang masih tergolong bagus ada di Tambun, di dalam kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, Bolaang Mongondow. Letaknya tak jauh dari Gunung Ambang yang masih aktif sehingga banyak sumber air panas ditemukan di sana. Sumber air panas inilah yang dimanfaatkan maleo untuk menghangatkan tanah tempat telur terkubur.
Burung hitam dengan perut merah jambu dan bermuka kuning itu kini jumlahnya di alam diperkirakan tinggal 5.000 hingga 10 ribu ekor. Populasi burung famili Megapodidae atau berkaki besar ini terus menurun sehingga masuk kategori Endangered atau terancam punah dalam IUCN Red List 2009.
Menurut situs BirdLife, dari 142 lahan tempat bertelur yang masih ada atau sempat diketahui, 48 di antaranya telah ditinggalkan, 51 sangat terancam, dan 32 lainnya masuk kategori terancam. Hanya empat nesting ground yang bisa dibilang belum terancam sedangkan status tujuh situs lainnya tidak diketahui. Jumlah telur di setiap situs bertelur pun semakin sedikit.
Di Tambun Nesting Ground, misalnya, jumlah telur yang ditemukan maksimal lima butir per hari, itu pun pada musim bertelur antara Januari-April. Sebelum 1990, telur maleo yang ditemukan di lokasi bertelur bisa mencapai 40 butir setiap hari. Koran Tempo - 22/05/2009.
Reputasi Pantai Binerean sebagai nesting ground atau tempat bertelur bagi beberapa jenis binatang, khususnya maleo, itulah yang membuat beberapa lembaga konservasi tertarik menjadikan kawasan tersebut sebagai pantai pribadi maleo. Pantai berpasir putih sepanjang 2,7 kilometer itu terletak sekitar 300 kilometer dari Manado, Sulawesi Utara.
Kini pantai seluas 14 hektare itu dimiliki oleh Pelestari Alam Liar dan Satwa (PALS), sebuah lembaga swadaya masyarakat setempat yang bekerja sama dengan Wildlife Conservation Society (WCS) untuk melestarikan satwa liar di Sulawesi. Mereka sengaja membeli pantai di desa Mataindo, Kecamatan Pinolosian Timur, Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan, itu untuk melindungi habitat maleo.
WCS, lembaga konservasi yang berbasis di Amerika Serikat, mengatakan pantai yang berada sekitar 100 kilometer dari Tambun Nesting Ground di Kecamatan Dumoga Timur, Bolaang Mongondow, itu dipilih karena di dalamnya terdapat sekitar 40 sarang maleo. "Melindungi pantai ini hanyalah tahap pertama dari proyek konservasi komprehensif untuk melestarikan maleo," kata Noviar Andayani, direktur program Indonesia WCS. "Dari seluruh daerah jelajah burung tersebut, hanya sedikit tempat bertelur yang masih ada, kurang dari 100 situs sehingga setiap sarang amat berarti."
Kelompok lingkungan tersebut mengumpulkan uang sebesar US$ 12.500 atau sekitar Rp 129,6 juta untuk membeli pantai yang terletak di kawasan terpencil Sulawesi Utara itu. Dana itu didonasikan oleh Lis Hudson Memorial Fund dan perusahaan Quvat Management dari Singapura. Proyek itu juga memperoleh dukungan melalui Van Tienhoven Foundation dari Belanda. "Kawasan perlindungan itu telah membangkitkan kesadaran tentang burung tersebut," kata John Tasirin, koordinator program WCS di Sulawesi.
John menyatakan selain berpasir putih, pantai itu tempat yang menyenangkan untuk berenang dan menyelam dengan temperatur air yang tak pernah turun di bawah 25 derajat Celsius. Di balik perkebunan kelapa terdapat hutan lindung seluas 100 hektare. Walaupun tak terlampau luas, kawasan hutan itu adalah koridor yang penting bagi maleo untuk mencapai hutan lebat.
Hutan itu juga membuka kesempatan bagi maleo untuk bergabung dengan populasi maleo lain di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone yang berjarak 12 kilometer dari hutan tersebut. Namun, hingga saat ini belum diketahui apakah populasi burung maleo yang bertelur di pasir pantai ini bercampur dengan kelompok maleo yang bertelur di tanah vulkanis di dalam hutan.
Meski pantai Binerean cukup terpencil, bukan berarti kawasan itu steril dari aktivitas manusia karena ada tak jauh dari pantai terdapat perkebunan kelapa penduduk. "Tetapi, tanah di sekitarnya belum banyak ditanami," kata John.
John menyatakan kawasan perlindungan itu amat signifikan karena manusia adalah ancaman terbesar bagi pelestarian burung yang terancam punah itu. Penduduk desa kerap menggali lubang dan mengambil telur maleo untuk dimasak atau dijual. Telur maleo sering menjadi incaran penduduk karena ukurannya yang beberapa kali lipat telur ayam sehingga harganya tinggi, bahkan setara dengan satu kilogram beras.
"Populasi maleo terus menurun," kata Martin Fowlie dari BirdLife International. "Sehingga upaya perlindungan seperti apa pun akan amat berguna."
Walaupun pantai yang dibeli lumayan luas, WCS sama sekali tak menemui kendala dalam negosiasi jual-beli pantai dan kebun kelapa itu dari penduduk desa Mataindo. Salah seorang pemilik tanah, Papa Bakrie, memang ingin menjual tanah itu karena lahan itu terpencil dan putranya tewas tenggelam di rawa dekat tempat maleo bertelur. "Pemilik tanah lainnya juga punya alasan bagus untuk menjual propertinya seperti hendak bercerai dan pindah ke daerah lain," kata John.
Program ini mendapat banyak dukungan dari penduduk maupun pejabat setempat. Upacara adat desa yang digelar tim WCS pada 4 Mei lalu dihadiri puluhan pemuka desa dan tokoh agama, termasuk Kepala Desa Mataindo dan camat Pinolosian Timur. Perayaan peluncuran Program Konservasi Maleo sekaligus status baru pantai itu sebagai kawasan perlindungan maleo ditandai dengan pelepasan empat ekor anak maleo yang baru menetas.
Pada kesempatan itu mereka juga melepas 98 tukik penyu lekang, penyu hijau dan penyu belimbing, yang menetas sehari sebelumnya, ke laut. Selain melindungi sarang maleo, tim WCS turut menjaga sarang penyu, yang musim kali ini menghasilkan 500 tukik.
Untuk menjaga pantai tersebut dari tangan jahil manusia, WCS melatih seorang penduduk setempat. "Dahulu dia adalah pengumpul telur sehingga ahli dalam mencari telur kini dia melindungi sarang maleo," kata John. "Setiap hari dia harus memonitor kedatangan maleo dewasa, kapan mereka bertelur dan kapan telur itu menetas. Berbeda dengan nesting ground lain, telur maleo di Binerean tetap dibiarkan di dalam pasir."
Penjaga sarang maleo itu juga bertugas mengurus kebun kelapa yang ada di situs tersebut. Kebun itu menghasilkan lebih dari 10 ribu butir kelapa per tahun. "Uang hasil panen kelapa nantinya dipakai untuk mengupah petugas yang menjaga pantai itu," kata John.
John mencatat, dalam musim bertelur tahun lalu, pada 1 November-31 Desember, mereka menemukan 43 butir telur. Sebanyak 90 pasang maleo terlihat di daerah itu. "Jika diasumsikan bahwa pasangan maleo bertelur dalam interval dua bulan, telur yang dihasilkan amat banyak," katanya.
Sayangnya, masa maleo bertelur di Binerean berbeda dengan tiga nesting ground yang dikelola WCS di Tambun dan Muara Pusian di Bolaang Mongondow dan Hungayono di Gorontalo. Bila di ketiga tempat itu hampir sepanjang tahun bisa ditemukan anak maleo yang menetas dari dalam tanah, masa maleo bertelur di Binerean hanya terjadi pada November-Mei, sedangkan antara Juni dan Oktober hampir tidak ada maleo yang bertelur.
Pantai pribadi maleo ini bukanlah proyek pertama WCS di Indonesia. Sejak 2004 lalu, lembaga konservasi itu aktif melindungi sarang maleo, terutama mencegah para pemburu mengambil telur secara ilegal. Tahun ini, para staff WCS di Indonesia akan merayakan pelepasan 5.000 anak maleo sebagai bagian dari rencana pemulihan spesies terancam punah itu.
Melindungi Telur Maleo dari Penggorengan
Induk maleo kini tak perlu khawatir lagi meninggalkan telurnya terkubur dalam lubang pasir yang hangat. Sarang-sarang maleo yang tersebar di sepanjang Pantai Binerean kini aman dari pencurian dan penjarahan sejak kawasan itu ditetapkan sebagai pantai pribadi maleo.
Sepanjang hari telur-telur mereka akan dijaga oleh seorang petugas. Lembaga konservasi Wildlife Conservation Society (WCS) dan Pelestari Alam Liar dan Satwa (PALS) bekerja bahu-membahu melindungi kawasan yang diperkirakan berisi 40 sarang maleo itu.
Biasanya, maleo akan menggali lubang lebih dari setengah meter untuk menyembunyikan telurnya dari binatang predator. Sekitar 60 hari kemudian, telur itu akan menetas. Istimewanya, begitu keluar dari telurnya, anak-anak maleo langsung bisa terbang dan mencari makanan sendiri.
Berbeda dengan anak unggas lain yang masih berbulu halus dan perlu berhari-hari untuk berganti bulu, sayap anak maleo telah tumbuh sempurna. Kecepatannya berlari dan terbangnya juga sudah semahir unggas dewasa. Itu semua berkat nutrisi dalam telur maleo yang bisa lima kali lipat dari ukuran telur ayam, tapi membuat telur itu juga diincar manusia untuk dijual maupun dikonsumsi.
John Tasirin, koordinator program WCS di Sulawesi, amat optimistis status baru pantai di Tanjung Binerean itu bisa menjamin kelangsungan hidup burung yang menjadi simbol kekayaan sumber daya hayati di Sulawesi tersebut. Mereka juga membangun sebuah stasiun riset sederhana di lahan itu.
"Tanah itu terisolasi, tak ada jalan yang menghubungkannya ke jalan besar sehingga amat menguntungkan bagi upaya konservasi yang kami lakukan," katanya. "Untuk mencapai tanjung tersebut, orang harus berjalan kaki dari Desa Mataindo dengan menyeberangi anak sungai dan sebuah sungai besar.
Binerean, kata John, adalah lokasi yang amat potensial untuk menyelamatkan sarang tempat maleo bertelur. Burung seukuran ayam dengan dahi yang seolah sedang memakai helm hitam itu memang amat pemilih. Dia tidak bisa bertelur di sembarang tempat.
Satwa endemik Sulawesi itu hanya mau bertelur di tempat yang memiliki sumber panas bumi atau di pantai berpasir yang hangat. Salah satu tempat bertelur maleo yang masih tergolong bagus ada di Tambun, di dalam kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, Bolaang Mongondow. Letaknya tak jauh dari Gunung Ambang yang masih aktif sehingga banyak sumber air panas ditemukan di sana. Sumber air panas inilah yang dimanfaatkan maleo untuk menghangatkan tanah tempat telur terkubur.
Burung hitam dengan perut merah jambu dan bermuka kuning itu kini jumlahnya di alam diperkirakan tinggal 5.000 hingga 10 ribu ekor. Populasi burung famili Megapodidae atau berkaki besar ini terus menurun sehingga masuk kategori Endangered atau terancam punah dalam IUCN Red List 2009.
Menurut situs BirdLife, dari 142 lahan tempat bertelur yang masih ada atau sempat diketahui, 48 di antaranya telah ditinggalkan, 51 sangat terancam, dan 32 lainnya masuk kategori terancam. Hanya empat nesting ground yang bisa dibilang belum terancam sedangkan status tujuh situs lainnya tidak diketahui. Jumlah telur di setiap situs bertelur pun semakin sedikit.
Di Tambun Nesting Ground, misalnya, jumlah telur yang ditemukan maksimal lima butir per hari, itu pun pada musim bertelur antara Januari-April. Sebelum 1990, telur maleo yang ditemukan di lokasi bertelur bisa mencapai 40 butir setiap hari. Koran Tempo - 22/05/2009.
0 komentar