127 hours

by - February 16, 2011

14 Pebruari 2011, malam, udara mulai dingin, ba’da maghrib Kota Malang tiba-tiba diguyur hujan yang sangat deras. Menjatuhkan seluruh air ke bumi, mengisi setiap pori tanah, membasahi setiap daun dadap merah yang tumbuh di halaman.


Sebenarnya ini sebuah film saja, sebuah film yang dibawa ke rumah oleh umi (istri saya). Yang menarik awalnya adalah, bahwa film ini merupakan kejadian nyata dari petualangan seorang pendaki gunung bernama Aaron Ralston. Saya yakin, umi membelinya karena alasan yang sama, selain tentunya ada sisi petualangan, ya, mengingat sedikit memori-nya ketika masih aktif memanjat tebing bersama organisasi pencinta alam yang kami geluti dulu semasa kuliah.
Film ini benar-benar mengekspos keindahan sebuah canyon di Utah, Amerika Serikat. Gersang, tandus, ukiran warna pada setiap tebing yang terhampar, dan langit biru yang menghiasi setiap atap canyon itu. Sebagai rumah kedua bagi Aaron, tentu ia sangat hafal daerah yang ia jelajahi, letak tebing, rekahan, satwa, dan jarak tempuh yang biasa ia habiskan untuk menjelajahi jalur yang ia lewati. Mulai bersepeda dari titik akhir mobil diparkir, berjalan kaki, hiking, menyusuri rekahan yang membelah dalam tanah, hingga rapelling menuruni tebing. Tapi, tampaknya hari sabtu itu merupakan hari naas-nya, Aaron tergelincir ketika menuruni rekahan dan tangan kanannya terjepit oleh sebuah batu besar yang ikut terjatuh bersama tubuhnya. Berbagai cara ia coba untuk menggeser letak batu tersebut, mengikis dengan pisau lipat, mengangkatnya dengan tali, dan lain sebagainya.
Hal yang menarik, ia sangat tenang, saat terjebak, ia menghitung seluruh peralatan dan perbekalan di dalam tasnya. Seberapa banyak biskuit dan air minum yang tersisa. Dan ia menghitung berapa hari akan bertahan hidup dengan keadaan yang ada. Bahkan untuk berjaga-jaga hal terburuk, setiap air seninya ia tampung dikantung air minumnya. Bukan main.
Pada film ini juga diperlihatkan sisi kemanusiaan seorang Aaron Ralston, walau ia terlatih, tetapi ia juga seorang manusia yang dihinggapi halusinasi dan keputusasaan. Dan akhirnya, air seni yang ditampung itupun ia minum ketika kondisinya semakin kritis di hari keempat. Ia sadar, waktunya semakin sempit, darahnya mulai mengental yang berakibat detak jantungnya sudah tidak normal. Pada hari kelima disaat halusinasi semakin mendera dan keputusasaan yang menghinggap juga, ia putuskan untuk mematahkan tangan kanannya yang terjepit, dan memotong bagian tangan yang patah tadi dengan pisau lipatnya. Ini bukan adegan yang bisa dilihat dengan tenang, seukuran saya dan istri, bagian ini kami putuskan untuk dicepatkan saja. Dengan tali dan karabiner diikatlah lengan kanannya sekuat mungkin untuk memperlambat darah keluar, dan membungkus bagian tangan yang terpotong dengan tas plastik yang diikat dengan webbing kemudian dibungkus kembali dengan tas kecil dan ditalikan ke leher dengan diletakkan di depan dadanya.

Disinilah dapat dilihat hebatnya sistem rescue di daerah-daerah wisata di negeri paman sam tersebut. Walau daerah tersebut terisolasi, dengan bantuan pendaki lain yang ia temui ketika berusaha keluar dari areal terisolasi, bantuan datang tidak tanggung-tanggung. Tim ranger dengan helikopternya. Heehhh... kapan negeri kita memiliki sistem rescue yang tertata dengan baik disetiap areal wisatanya seperti itu, utamanya areal wisata yang memiliki resiko tinggi.
Sebuah pelajar diambil, bahkan bagi Aaron itu sendiri. Ia akan selalu memberitahu keluarga atau orang terdekatnya kemanapun ia akan pergi atau keluar rumah, ataupun pergi menyusuri gunung dan tebing lainnya. Sehingga ketika waktu kembali terlampui, keluarga dan orang terdekatnya dapat mencari bantuan untuk mencarinya atau memberikan penyelamatan. Hmm.. bagaimana, apa kita selalu pamit kepada istri, orang tua kita, atau anak kita ketika kita hendak pergi keluar rumah?
127 hours, 127 jam terjebak di dalam rekahan tebing, 127 jam yang berjalan lambat, 127 jam dimana setiap hitungan detiknya sangat berarti.

Udara malam semakin dingin, bertambah dingin karena lingkungan perumahan ini sepi, yang ada hanya jalanan basah, rerumputan yang pesta pora akan air hujan dan asap racun rokok yang keluar dari mulutku.

You May Also Like

2 komentar