Harimau Jawa Punah?

by - August 08, 2012


Pertanyaan diatas sering terlontar sebagai akibat dari jawaban yang belum pasti dari khalayak masyaraka, baik pemburu, peneliti, ilmuwan, konservasionis, pecinta alam maupun aktivis lingkungan, terhadap eksistensi Harimau Jawa. secara logika si Raja Penguasa Rimba ini harusnya sudah lama dihapus dalam status perlindungannya. 



Dalam peraturan perundang-undangan baik yang lama maupun yang terbaru, satwa ini telah dinyatakan punah sekitar tahun 1980-an. Nampaknya para ahli dan pengambil kebijakan belum seratus persen menyetujui ini semua, apalagi masyarakat pedalaman yang hidupnya selalu berbaur di sekitar hutan, kadang masih ada cerita atau mitos tentang keberadaannya.



Terlepas setuju atau tidak, ternyata masih sulit untuk memutuskan jawaban terakhir mengenai status satwa ini, perlu ada gambaran, perkembangan dan temuan terakhir dari satwa mamlia endemik berukuran terbesar di Jawa ini. Dari data yang dikumpulkan rekan-rekan di Kelompok Kerja harimau Jawa (KKHJ) yang telah mengumpulkan seluruh data yang tercecer sejak pertama kali hingga percak-percak dari temuan terbaru, didapatkan bahwa sejak tahun 1747 hingga 1980 sudah lebih dari 1.546 ekor Harimau Jawa yang terbunuh. 

Namun bukti spesimen kulitnya yang ada di dunia ini hanya tersisa 7 saja, diantaranya 3 berada di Museum Zooligicum bogoriense, Bogor, 2 di museum Leiden, Belanda, 1 di Inggris dan 1 di Perancis. Hingga kini kita tidak dapat mengetahui kemana sebagian besar sisanya, apakah sisanya sudah berubah wujud menjadi hiasan reog ponorogo atau tersimpan dalam bentuk koleksi-koleksi pribadi.

Awalnya status satwa ini sebagai satwa buru dan baru tahun 1978 ditetapkan sebagai satwa yang dilindungi, sehingga kebijakan ini cukup berpengaruh terhadap status dan populasinya di alam. Di sisi lain habitatnya sudah jelas sangat jauh berkurang baik kualitas dan kuantitasnya, sehingga kehidupannya terdesak di hutan yang tersisa saja di Pulau Jawa. 

Contohnya, menurut catatan tahun 1747 antara Buitenzorg (Bogor) dan Batavia (Jakarta) mudah dijumpai dan pernah terbunuh 80 ekor. Masyarakat tidak berani melakukan perjalanan melintasi hutan sepanjang jalur tersebut, dikarenakan lebatnya hutan dataran rendah serta masih banyaknya binatang buas, terutama Harimau Jawa. Barangkali kawasan tersebut saat ini telah berubah areal pertanian, pemukiman, jalan tol atau komplek industri.

Yang harus berperan besar sebenarnya para ahli dan pengambil kebijakan, tapi kenyataannya tidak cukup punya energi dan waktu untuk mengoptimalisasi program atau kegiatan untuk menguak tabir teka-teki kehidupan terakhir satwa ini. Walaupun peralatan canggih dan keuangan jauh berbeda dengan kondisi 100 tahun yang lalu, namun kemauan yang kuat tidak pernah terlihat. 

Ternyata ini tidak menjadi prasyarat, buktinya beberapa rekan-rekan di KKHJ selama setahun terakhir ini menemukan sesuatu yang menampakkan hasilnya. Semua hasil ini sebagai kelanjutan program rekan-rekan yang diinisiasi oleh KAPPALA- Indonesia selama tiga tahun sebelumnya untuk melakukan survei dengan metode PAR (Participatory Action Research).


Seluruh data dan informasi dari masyarakat menjadi titik awal sebagai pembuktian secara ilmiah, dan tentu saja mereka harus bertanggungjawab dan mau terlibat dalam setiap kegiatan yang dilakukan secara partisipatif. Di sisi lain - dengan cara mudah dan menggunakan logika-, ternyata dari 68 sampel contoh yang ditemukan di lapangan selama tiga tahun dengan membandingkan sampel rambut yang ada di museum, terdapat 5 sampel contoh yang bentuk medula dan sisiknya sama dari temuan terbaru di tahun 2000. 

Landasan yang perlu dikaji adalah pola medula dan sisik dari rambut satwa sama dan tidak berubah, kecuali bagian rambut alis dan kumis. Jaringan KKHJ telah berani mempertaruhkan bahwa satwa ini masih memungkinkan ditemukan di hutan-hutan tersisa di Jawa. Siapa yang mau bertaruh dan percaya bahwa Harimau Jawa belum punah? Iwan Setiawan.

dicukil dari buku " Berkaca di Cermin Retak, Refleksi Konservasi dan Implikasi Bagi Pengelolaan Taman Nasional " oleh Wiratno, dkk. Edisi Kedua (Revisi) Tahun 2004.

You May Also Like

1 komentar

  1. Desaku terletak di kaki atau(lereng ya hehe) Gunung Slamet Jawa Tengah,tepatnya di Desa Tuwel. Kec.Bojong Kab.Tegal.
    Waktu kecil aq suka ikut pembantuku pulang ke kampungnya yg letaknya di deket hutan bahkan boleh di kata menyatu dengan hutan Gunung Slemat,dan biasanya aq menginap di sana.Kalo malam suasananya gelap sekali,karena penerangan hanya menggunakan lampu minyak bekas botol obat yg di kasih sumbu kecil,dan hawanya dingin sekali,karena dinding rumahnya memakai gedek.Kalo malam aneka suara aq dengar,aq juga tidak tahu suara apa saja.Tapi waktu aq tanya pembantuku katanya salah satu suara itu suara Macan,entah itu untuk menakuti aq atau beneran.
    Semakin aq besar,aq sering dengar orang2 di kampungku katanya melihat Macan,karena hampir semua penduduk di kampungku petani,dan letak sawahnya berdekatan dengan hutan,jadi ya aq percaya saja,meskipun aq sendiri tidak pernah melihatnya sendiri...hehehe
    Tapi sejak aq SMA aq sudah ga pernah dengar lagi orang bertemu Macan,entah karena aq yg tidak dengar(karena SMA aq sudah keluar Propinsi,dan hanya pulang setahun 2 kali) atau memang sudah tidak ada yg ketemu Macan lagi ya?entahlah,,semoga hasil temuan teman2 bisa menjadi petunjuk keberadaan Macan(harimau) jawa,,,
    Kalau sampai sekarang yg aq dengar masih ada Macannya itu di hutan antara RanduDongkal-Moga(keduanya letaknya di Kab.Pemalang dan juga di kaki Gunung Slamet)semoga mereka masih EXIS,,,hihi,,Nely,, :*

    ReplyDelete