Kalau Raja Kehilangan Hutan
PEKANBARU - Sudah sebulan ini Asmadi trauma. Setiap pagi saat ia hendak berangkat mengurus kebun sawitnya atau sekadar menyadap getah pohon karet yang sudah dirawatnya sejak lama, bayang-bayang harimau menghantui dari balik punggungnya.
Wajar saja, petani berusia 43 tahun asal Desa Sungaigelam, Kabupaten Muarojambi, Jambi, itu takut karena tujuh orang dimangsa hewan penguasa hutan itu sepanjang Februari lalu. Enam di antaranya tewas. "Kami benar-benar trauma, takut menjadi korban berikutnya," kata Asmadi pekan lalu.
Konflik manusia dengan harimau si raja hutan memang senantiasa terjadi. Bukan cuma Februari ini dan tidak sebatas di Jambi. "Tapi, enam korban tewas manusia dan dua ekor di pihak harimau dalam sebulan ini sudah tergolong luar biasa sehingga mendapat perhatian besar," kata juru bicara WWF Indonesia, Desmarita Murni, kemarin.
Harimau sumatera di Jambi memang sedang gelisah. Hutan yang semakin terkotak-kotak kecil dan semakin berkurangnya mangsa alami berupa rusa dan babi hutan diduga kuat membuat harimau melampiaskan nafsu dan amarahnya kepada manusia. "Bagaimana harimau tidak marah kalau habitat mereka yang semula hutan berubah hanya tinggal semak," kata Osmantri, staf lapangan WWF Indonesia di Riau, memberi contoh.
Osmantri ini pula yang memberi catatan kalau aksi saling berbalas di antara dua spesies ini semakin cepat saja. Menurut dia, ada mekanisme pelaporan kepada dirinya atau anggota tim lain dari Balai Konservasi dan sumber daya alam setempat setiap kali ada insiden serangan harimau. "Belakangan ini masyarakat langsung bertindak sendiri menjerat dan membunuh harimau," katanya seraya mengungkapkan kekhawatirannya akan adanya kepentingan pemburu yang menumpang dalam aksi balasan itu.
Korban tewas pertama di Jambi pada Februari lalu adalah Khoiri, 20 tahun. Jasad utuh penebang kayu liar ini belum kunjung ditemukan sampai akhir pekan kemarin. Tempat kejadian perkara Khoiri di areal hutan produksi Sungaigelam berjarak sekitar 2 kilometer dari kejadian yang menimpa Mat Ali, 50 tahun, dan Nana bin Mat Ali, 17 tahun. Kedua warga Desa Masuji, Lampung, itu tewas diterkam sang raja hutan pada Jumat lalu.
Tiga korban tewas terakhir juga pelaku pembalakan di Hutan Paal VII Sungaigelam, tempat terdapat praktek pembalakan secara besar-besaran karena di tempat itu ditemukan berbagai jenis kayu yang sudah digergaji maupun kayu bulat habis ditebang. "Kami menemukan ada 10 pondok yang dihuni sekitar 60 orang di lokasi itu," Didy Wurdjanto, Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi, mengungkapkan.
Didy menyebutkan bahwa pembukaan hutan, baik karena pembalakan, konversi menjadi perkebunan, maupun konversi untuk menyuplai bahan baku pabrik bubur kertas, menjadi penyebab utama konflik antara manusia dan satwa liar seperti gajah dan harimau. Dalam hal ini data WWF-Indonesia menunjukkan bahwa pada 1985 sampai 2007, tutupan hutan di Sumatera telah berkurang 12 juta hektare atau sebesar 48 persen.
"Tewasnya enam orang akibat diterkam harimau di Jambi dalam satu bulan terakhir merupakan sinyal peringatan akan pentingnya upaya serius dari berbagai pihak untuk segera menghentikan pembukaan hutan alam dan memberikan tempat yang cukup bagi harimau untuk hidup," kata Didy.
Untuk kepentingan itu, pemerintah pusat lewat Departemen Kehutanan sebenarnya sudah memiliki dokumen tentang strategi dan rencana aksi konservasi harimau sumatera 2007-2017. Dokumen itu disusun dengan melibatkan berbagai organisasi penggiat konservasi dan juga industri pengguna produk hutan. "Saya berharap kejadian Februari lalu mendorong segera dibentuknya tim tanggap cepat dalam mendeteksi wilayah 'kekuasaan' harimau demi bisa mencegah konflik dengan manusia," kata Osmantri yang selama ini lebih banyak mengandalkan keampuhan penyuluhan.
Sementara itu, Didy meminta peran aktif Dinas Kehutanan dan polisi dalam merazia praktek pembalakan. "Kawasan hutan di sekitar tempat kejadian serangan merupakan habitat binatang buas tersebut yang telah banyak dibuka menjadi kawasan perkebunan masyarakat dan perusahaan swasta serta praktek pembalakan liar," ujarnya.
Harimau Sumatera
Hewan ini memang superior. Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Harimau Sumatera 2007-2017 menempatkannya di puncak piramida ekosistem hutan di seantero Sumatera. Tapi, bukan itu yang membuat harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) penting.
Harimau mungil--panjang tubuh 220-240 cm dan berat 90-120 kg (paling kecil di antara jenis-jenis harimau yang ada di dunia)--ini adalah satu-satunya subspesies harimau yang tersisa di Indonesia. Dua saudaranya yang lain, harimau bali (Panthera tigris balica) dan harimau jawa (Panthera tigirs sondaica) sudah lebih dulu punah di era 1940-an dan 1980-an.
Harimau sumatera pun kini sudah dilingkari oleh IUCN sebagai jenis hewan yang sudah sangat terancam punah. Habitat yang terfragmentasi dan terisolasi satu sama lain sukses menekan populasinya hingga diduga tidak lebih dari 300 ekor saja. Jika tidak hati-hati, bahaya konflik dan ancaman perburuan yang terus mengintai bisa membuatnya menyusul punah.
Hasil analisis terkini menetapkan 12 bentang alam konservasi harimau di Sumatera dan hanya dua yang dikategorikan sebagai prioritas global yakni bentang alam Kerinci Seblat dan Bukit Tigapuluh. Saat ini populasi harimau sumatera diestimasi ada setidaknya di 18 kawasan konservasi dan kawasan hutan lainnya yang berstatus hutan lindung ataupun hutan produksi yang terpisah satu sama lain.
Sama seperti subspesies harimau lainnya, harimau sumatera umumnya bisa hidup di mana saja, asalkan tersedia cukup air dan mangsa. Di Sumatera, mereka menguasai hutan dataran rendah sampai pegunungan. Mereka juga menghuni berbagai jenis habitat, dari hutan primer sampai hutan rawa gambut, hutan pantai, dan hutan tebangan.
Kajian yang sudah dilakukan menunjukkan daerah jelajah harimau sumatera betina berkisar 40-70 kilometer persegi. Sedangkan yang jantan lebih bervariasi, yakni 180 kilometer persegi di dataran rendah hingga 380 kilometer persegi pada ketinggian lebih dari 1.700 meter di atas muka laut.
Boleh dibilang daerah jelajah seekor harimau sumatera jantan setara daerah jelajah dua ekor harimau sumatera betina. Faktor utama yang mempengaruhi luas daerah kekuasaan itu jelas keberadaan mangsa. (Koran Tempo, 02/03/09)
Wajar saja, petani berusia 43 tahun asal Desa Sungaigelam, Kabupaten Muarojambi, Jambi, itu takut karena tujuh orang dimangsa hewan penguasa hutan itu sepanjang Februari lalu. Enam di antaranya tewas. "Kami benar-benar trauma, takut menjadi korban berikutnya," kata Asmadi pekan lalu.
Konflik manusia dengan harimau si raja hutan memang senantiasa terjadi. Bukan cuma Februari ini dan tidak sebatas di Jambi. "Tapi, enam korban tewas manusia dan dua ekor di pihak harimau dalam sebulan ini sudah tergolong luar biasa sehingga mendapat perhatian besar," kata juru bicara WWF Indonesia, Desmarita Murni, kemarin.
Harimau sumatera di Jambi memang sedang gelisah. Hutan yang semakin terkotak-kotak kecil dan semakin berkurangnya mangsa alami berupa rusa dan babi hutan diduga kuat membuat harimau melampiaskan nafsu dan amarahnya kepada manusia. "Bagaimana harimau tidak marah kalau habitat mereka yang semula hutan berubah hanya tinggal semak," kata Osmantri, staf lapangan WWF Indonesia di Riau, memberi contoh.
Osmantri ini pula yang memberi catatan kalau aksi saling berbalas di antara dua spesies ini semakin cepat saja. Menurut dia, ada mekanisme pelaporan kepada dirinya atau anggota tim lain dari Balai Konservasi dan sumber daya alam setempat setiap kali ada insiden serangan harimau. "Belakangan ini masyarakat langsung bertindak sendiri menjerat dan membunuh harimau," katanya seraya mengungkapkan kekhawatirannya akan adanya kepentingan pemburu yang menumpang dalam aksi balasan itu.
Korban tewas pertama di Jambi pada Februari lalu adalah Khoiri, 20 tahun. Jasad utuh penebang kayu liar ini belum kunjung ditemukan sampai akhir pekan kemarin. Tempat kejadian perkara Khoiri di areal hutan produksi Sungaigelam berjarak sekitar 2 kilometer dari kejadian yang menimpa Mat Ali, 50 tahun, dan Nana bin Mat Ali, 17 tahun. Kedua warga Desa Masuji, Lampung, itu tewas diterkam sang raja hutan pada Jumat lalu.
Tiga korban tewas terakhir juga pelaku pembalakan di Hutan Paal VII Sungaigelam, tempat terdapat praktek pembalakan secara besar-besaran karena di tempat itu ditemukan berbagai jenis kayu yang sudah digergaji maupun kayu bulat habis ditebang. "Kami menemukan ada 10 pondok yang dihuni sekitar 60 orang di lokasi itu," Didy Wurdjanto, Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi, mengungkapkan.
Didy menyebutkan bahwa pembukaan hutan, baik karena pembalakan, konversi menjadi perkebunan, maupun konversi untuk menyuplai bahan baku pabrik bubur kertas, menjadi penyebab utama konflik antara manusia dan satwa liar seperti gajah dan harimau. Dalam hal ini data WWF-Indonesia menunjukkan bahwa pada 1985 sampai 2007, tutupan hutan di Sumatera telah berkurang 12 juta hektare atau sebesar 48 persen.
"Tewasnya enam orang akibat diterkam harimau di Jambi dalam satu bulan terakhir merupakan sinyal peringatan akan pentingnya upaya serius dari berbagai pihak untuk segera menghentikan pembukaan hutan alam dan memberikan tempat yang cukup bagi harimau untuk hidup," kata Didy.
Untuk kepentingan itu, pemerintah pusat lewat Departemen Kehutanan sebenarnya sudah memiliki dokumen tentang strategi dan rencana aksi konservasi harimau sumatera 2007-2017. Dokumen itu disusun dengan melibatkan berbagai organisasi penggiat konservasi dan juga industri pengguna produk hutan. "Saya berharap kejadian Februari lalu mendorong segera dibentuknya tim tanggap cepat dalam mendeteksi wilayah 'kekuasaan' harimau demi bisa mencegah konflik dengan manusia," kata Osmantri yang selama ini lebih banyak mengandalkan keampuhan penyuluhan.
Sementara itu, Didy meminta peran aktif Dinas Kehutanan dan polisi dalam merazia praktek pembalakan. "Kawasan hutan di sekitar tempat kejadian serangan merupakan habitat binatang buas tersebut yang telah banyak dibuka menjadi kawasan perkebunan masyarakat dan perusahaan swasta serta praktek pembalakan liar," ujarnya.
Harimau Sumatera
Hewan ini memang superior. Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Harimau Sumatera 2007-2017 menempatkannya di puncak piramida ekosistem hutan di seantero Sumatera. Tapi, bukan itu yang membuat harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) penting.
Harimau mungil--panjang tubuh 220-240 cm dan berat 90-120 kg (paling kecil di antara jenis-jenis harimau yang ada di dunia)--ini adalah satu-satunya subspesies harimau yang tersisa di Indonesia. Dua saudaranya yang lain, harimau bali (Panthera tigris balica) dan harimau jawa (Panthera tigirs sondaica) sudah lebih dulu punah di era 1940-an dan 1980-an.
Harimau sumatera pun kini sudah dilingkari oleh IUCN sebagai jenis hewan yang sudah sangat terancam punah. Habitat yang terfragmentasi dan terisolasi satu sama lain sukses menekan populasinya hingga diduga tidak lebih dari 300 ekor saja. Jika tidak hati-hati, bahaya konflik dan ancaman perburuan yang terus mengintai bisa membuatnya menyusul punah.
Hasil analisis terkini menetapkan 12 bentang alam konservasi harimau di Sumatera dan hanya dua yang dikategorikan sebagai prioritas global yakni bentang alam Kerinci Seblat dan Bukit Tigapuluh. Saat ini populasi harimau sumatera diestimasi ada setidaknya di 18 kawasan konservasi dan kawasan hutan lainnya yang berstatus hutan lindung ataupun hutan produksi yang terpisah satu sama lain.
Sama seperti subspesies harimau lainnya, harimau sumatera umumnya bisa hidup di mana saja, asalkan tersedia cukup air dan mangsa. Di Sumatera, mereka menguasai hutan dataran rendah sampai pegunungan. Mereka juga menghuni berbagai jenis habitat, dari hutan primer sampai hutan rawa gambut, hutan pantai, dan hutan tebangan.
Kajian yang sudah dilakukan menunjukkan daerah jelajah harimau sumatera betina berkisar 40-70 kilometer persegi. Sedangkan yang jantan lebih bervariasi, yakni 180 kilometer persegi di dataran rendah hingga 380 kilometer persegi pada ketinggian lebih dari 1.700 meter di atas muka laut.
Boleh dibilang daerah jelajah seekor harimau sumatera jantan setara daerah jelajah dua ekor harimau sumatera betina. Faktor utama yang mempengaruhi luas daerah kekuasaan itu jelas keberadaan mangsa. (Koran Tempo, 02/03/09)
1 komentar
alam bicara dengan bahasanya sendiri
ReplyDelete