Melawat ke Pulau Rambut

by - December 10, 2013

Jalan menaiki atau menuruni menara pandang yang cukup membuat pengunjung berdebar,
selain tinggi, hembusan angin pada menara ini cukup kencang

Beberapa pohon mati berdiri, 
dan beberapa lainnya menelan papan nama disekitar lokasi.


Udara terik menyapa ketika saya menjejaki kaki di Pulau Rambut saat pagi beralih menjadi siang, sebuah pulau yang berada disebelah utara Teluk Jakarta. Dermaga kayu, pasir, dan bangunan kantor yang berjendela lebar berderet rapi turut menyambut kedatangan saya. Begitu juga senyum pak Suparianto, pemandu saya hari itu. 

Pulau Rambut, sebuah pulau yang memiliki status sebagai suaka margasatwa. Itu berarti hanya wisata terbatas yang dapat dilakukan di pulau ini dengan menggunakan surat ijin memasuki kawasan konservasi, SIMAKSI. Pulau Rambut dapat dicapai dari Tanjungpasir, Teluknaga, Tangerang, dengan menaiki kapal penumpang selama kurang lebih 30 menit. 

Memulai perjalanan hari itu, pak Suparianto memberitahukan untuk tidak merokok selama berkegiatan di dalam hutan pulau Rambut. Ini terbukti dengan hadirnya tanda “dilarang merokok” berukuran besar sebelum memasuki pintu gerbang. Setelah melewatinya, jalur interprestasi selebar satu meter siap menuntun wisata terbatas kami di siang hari itu. Panjang jalur ini hingga menara pengamat, tujuan saya, mencapai 600 meter. 

Beberapa menit berjalan, mulailah suara burung-burung penghuni pulau memenuhi ruang dengar kita, riuh dan menyenangkan. Beberapa pohon roboh yang menghalangi jalur mulai membuat perjalanan semakin berkeringat. Kepuh dan Kedoya tampak mendominasi pepohonan di sepanjang jalur interprestasi, selain Jeruk Kinkit yang berduri pada tumbuhan semaknya. Bahkan beberapa pohon tampak mati berdiri dililit pohon Kresek, Ficus superba, yang semula menumpang hidup padanya.

Pohon Penelan

Sebuah persimpangan akan dijumpai setelah berjalan santai 15 menit dari gerbang tadi. Penunjuk arah memberikan informasi dimana lokasi penetasan, area rehabilitasi dan menara pengamat. Jika teliti, dapat dijumpai pohon-pohon yang menelan papan nama jenis pohon disekitar lokasi ini. Begitu juga sarang-sarang burung dan Kalong-kalong yang bergelantungan diatas pohon Kepuh. Pun aromanya, akan semakin kuat bau kotoran burung tercium. Yang menarik dari Kalong, mereka tidak pernah bergantungan di pohon yang sama dengan pohon tempat burung-burung bersarang, meskipun mereka adalah kompetitornya. 

Saya terperanjat ketika seekor Biawak menghadang perjalanan kami. Tak berapa lama Biawak tersebut berlalu memasuki semak. Ternyata beberapa meter dari tempat saya berdiri terdapat sarang Biawak di sebuah pohon Kepuh besar yang telah mati oleh lilitan pohon Kresek. Beberapa lubang tampak berada dibawah pohon tersebut yang menandakan itulah sarangnya.

Biawak, Varanus salvator, salah satu penguasa daratan di Pulau Rambut, sering di jumpai sepanjang jalur interprestasi. Kehadirannya menandakan adanya sarang mereka di sekitar lokasi

Sebelum sampai ke lokasi menara, kita akan melalui sebuah terowongan alami yang terbentuk oleh jajaran tumbuhan Jeruk Kinkit dengan penutup kanopinya berbagai macam tumbuhan merambat atau liana. Jika kurang hati-hati, tangan kita dapat tergores oleh duri-duri Jeruk Kinkit tersebut. Di ujung jalan sebuah menara pengamat tampak berdiri kokoh. Didirikan tahun 1983 dan dibangun ulang pada 2010, berbahan besi dan dicat warna perak, sanggup meyakinkan saya untuk menaikinya hingga atas. Dari atas menara, saya dapat melihat hamparan kanopi yang menutupi pulau Rambut dengan berbagai jenis burungnya yang sibuk hilir mudik. Binokuler dan kamera lensa panjang merupakan peralatan tambahan yang dapat memuaskan haus kita akan keriuhan burung dari atas pulau itu.

Sayangnya pulau ini menghadapi ancaman yang sama dengan pulau lain di Teluk Jakarta. Serbuan sampah yang rutin memenuhi panti-pantai pulau. Sampah-sampah tersebut merupakan sampah kiriman dari Jakarta. Keberadaannya jelas sangat mengganggu pemandangan bahkan ekosistem Pulau rambut yang dikenal sebagai suaka burung di Teluk Jakarta.

Tulisan ini diterbitkan pada Buletin Gecko - Balai Besar KSDA Jatim dan Buletin Konservasi Alam - PJLKKHL dengan editing.

You May Also Like

0 komentar