Owa Jawa di Gunung Kesepian
Sentilan suara hut-hut-huoot itu terdengar lagi. Tirai kabut pagi kemarau tengah tahun lalu sepertinya tertembus lengkingan dari jauh, berbarengan dengan menusuknya sorot matahari di tepian kaki Gunung Pangrango. Wajah beberapa fotografer dan juru kamera pun terkuak puas, sasaran yang ditunggunya makin lama makin jelas sosoknya, diselingi lengking bunyi panggilan atau calling khas owa jawa alias javan gibbon.
Bunyi keras itu kontan disambut dengan hut-hut-huoot delapan ekor owa jawa kandangan. Sebab, bunyi keras owa jawa liar asal kaki Gunung Pangrango itu sepertinya ”suara pernyataan” teritorial kalau kawasan sisa hutan rimbun itu adalah kawasan kekuasaannya, alias home range keluarga owa liar Pangrango.
Jamak kalau kera liar itu amat teritorial mengingat hutan gunung rimbun sepi di sekitaran kaki Gunung Pangrango di batas akhir Taman Nasional Gede-Pangrango dan Taman Safari Indonesia itu memang habitat asli, sekalian juga ”pekarangan” rumahnya untuk hidup, berkembang biak, serta sumber pakan alaminya. Owa tak berekor dengan tubuh langsing berbulu halus lebat kelabu keperakan pol-polan. Mukanya berkulit hitam pekat, macam topeng di kelilingi rambut kehitaman seram tetapi kocak. Gerak akrobatik gelayutan makhluk di pohon tinggi mungkin tak tertandingi makhluk lain di bumi ini, apalagi manusia biasa. Makanya, tak salah kalau Linnaeus, peneliti satwa, menyebutnya ”dewa yang berjalan di pucuk pohon” alias Hylobates moloch.
Si ”dewa” inilah yang disebut owa atau wau-wau, atau javan gibbon—gibon jawa yang memang hidup dan eksis di Pulau Jawa saja. Kemunculan owa moloch yang tidak berbahaya dari gunung sepi itu tiba-tiba menyentak perhatian dunia ilmu pengetahuan, selain petugas Pusat Penangkaran Owa Jawa-Taman Safari Indonesia (PPOJ-TSI) serta pimpinan TSI Jansen Manansang yang di tengah pagi dingin itu sudah siap-siap mau mengintip owa yang sulit dilihat mata telanjang.
Bernasib gawat
Majalah Time edisi 24 Januari 2000, halaman 44, memasang gambar sekaligus teks: Javan Gibbon-Home: Indonesia, population 300 to 400. It hangs on precariously in a handful of national parks on Java, one of the world’s most densely populated islands. Kera tak berekor bernama owa ini katanya bernasib gawat atau genting, precariously. Apalagi, kalau populasinya, sempat dinyatakan tinggal 300 sampai 400 ekor, itu sudah lampu kuning endangered, terancam. Tinggal menanti kerlip nyala lampu merah extinct, punah!
Namun, angka samar-samar sempat terucap dalam lokakarya ”Penyusunan Strategi dan Rencana Aksi Owa Jawa 2008-2018” bulan September 2008 di Bogor. Katanya, populasi owa jawa masih tersisa di kisaran angka 2.600 hingga 5.304 ekor lagi. Namun, angka itu masih belum pasti, seperti biasalah, karena tercekik dana penelitian yang cekak, hingga menyulitkan lembaga swadaya masyarakat meneliti tuntas di hutan Taman Nasional Ujungkulon, Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango (TNGP), Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, serta cagar alam di hutan-hutan Jawa Barat dan Jawa Tengah—khususnya di seputaran Gunung Selamet. Akan tetapi, yang jelas, langkanya owa itu bikin gunung pun kesepian dari hunian makhluk hidupnya.
Indonesia memiliki enam spesies (Hylobates syndactylus, H lar dan H agilis di Sumatera, H klosii di Pulau Mentawai, H moloch di Jawa, dan H muelleri di Kalimantan). Adapun di Asia Tenggara hanya ada tiga spesies dan subspesiesnya, seperti Hylobates hoolock di Myanmar, H concolor di Vietnam dan China, serta H pileatus di Thailand dan Kamboja).
Kera yang kedua tangan panjangnya berukuran 2,5 kali badannya, menurut Jansen, berdasarkan hasil lokakarya temu pakar primata tahun 2000 lalu, paling tidak masih tersisa sekitar 390 ekor lagi yang terobservasi. Primata loveable ini tersebar di 21 lokasi habitatnya di Jawa. ”Dari analisis populasi, diperkirakan owa itu 20 tahun lalu masih hidup sekitar 3.000 ekor,” kata Jansen.
Persebaran owa di Jawa memang terpusat di Jawa Barat. Populasi owa yang tersisa di Jateng mungkin terkonsentrasi di sekitaran Gunung Slamet. Umumnya, owa itu hidup berkelompok dalam suatu keluarga batih atau keluarga ”luas”—induk dan jantan berikut bayi dan anakan belum disapih, rata-rata berpopulasi antara 2 dan 4 ekor.
Jansen merasakan habitat owa kini sudah kian rusak. Habitat idealnya di hutan berketinggian 600-an meter di atas permukaan laut. ”Tidak mustahil owa itu terdesak, lalu hidup di hutan mendekati puncak gunung, misalnya ada kelompok owa di dekat puncak Gunung Gede-Pangrango. Di ketinggian sekitar 1.200 sampai 2.000-an meter,” ucapnya seraya memberi contoh masuknya keluarga owa liar sampai ke perbatasan hutan TSI. ”Mungkin kawasan TSI yang terjaga relatif lebih aman dan lebih sepi dibandingkan di alam liar yang kadang-kadang suka kemasukan penangkap satwa liar.”
Di tengah kegalauan ini, Jansen selaku Presiden South East Asia Zoological Association (SEAZA) masih melihat titik terang. ”Cuma sekitar 100 kilometer dari kota besar ramai Jakarta dan Bogor terbukti masih ada owa liar di habitat aslinya. Ini mengagumkan,” ujarnya yang memperkirakan kemungkinan perubahan perilaku hidup owa. ”Bisa saja mereka tertarik dengan kebisingan suara lengking calling delapan ekor owa PPOJ-TSI.”
Makhluk monogami
Musnah, itu kata yang sering terdengar untuk predikat satwa liar khas Indonesia. Owa sudah masuk kelas satwa liar Jawa yang terancam punah. Kera yang tinggi badan dewasa sekitar 80 sentimeter dalam suatu keluarga monogami rata-rata melahirkan bayi setelah dikandung 220-an hari. Sampai usia 3-4 bulan, bayi owa tetap melekat di perut induknya.
Usia matang seksual owa sekitar 6-7 tahun. Setelah itu owa remaja harus meninggalkan teritori induknya. Pergi mencari teritori baru sekalian cari pacar. Kalau ketemu jodoh, pasangan itu langsung kawin dan hidup sebagai pasutri owa liar dan beranak-pinak seenaknya. Kata peneliti, di kebun binatang, owa sebagai primata menyusui mampu hidup sampai umur 20-an tahun. Di alam bebas, seperti di sisa hutan primer TNGP, tingkat harapan hidupnya cuma belasan tahun, itu pun kalau tidak dibunuh pemangsa buas, termasuk manusia edan.
Sosok, perilaku, dan tata hidup kelompok owa sungguh menarik. Kepiawaiannya bergelayut (brachiating) dari dahan ke dahan di pucuk pohon tinggi serta kemampuannya mengeluarkan bunyi dan suara hut-hut-huoot atau calling membuat owa makin memikat untuk dijadikan bahan kajian konservasi.
Dari jumlah peneliti owa Indonesia yang sedikit itu, Jansen menyebutkan beberapa nama sudah bersepakat membentuk lembaga kajian owa. ”Tahun 1994 populasinya sekitar 400 ekor. Majalah Time menyebutkan antara 300 dan 400 ekor. Saya rasa jumlahnya mungkin sekitar itu. Tetapi, kalau ada peningkatan populasi seperti penelitian terakhir, ya itu mukjizat alami dan dunia konservasi harus senang dan bersyukur. Namun, pusat penangkaran kami tetap berusaha untuk menangkar owa jawa eks-situ secara prosedur ilmiah agar keturunannya dapat perlahan-lahan kami lepasliarkan di hutan gunung sepi di TNGP,” kata Jansen Manansang seraya mengutip rekomendasi lokakarya lalu, kalau owa jawa yang habitatnya sudah ancur-ancuran ini, nasibnya hanya bertahan apabila pemerintah berpihak mempertahankan sisa hutan yang habitat owa itu.
Dari mana awal pangkal upaya konservasi, termasuk aksi penyelamatan owa jawa ini, mungkin bikin bingung banyak orang. Sebab, di zaman ”hura-hura” reformasi dan demokrasi menjelang pemilihan Presiden RI 2009-2014 apakah masih ada segelintir masyarakat dan pejabat, sebagai makhluk nonpolitikus, sempat-sempatnya mikir-mikirin nasib owa yang hanya dianggap monyet. Ya EMP alias emang mereka pikirin. Jadi, biarkanlah binatang hutan itu hidup di alam kesepian kalau dia mampu. Kalau tidak bisa, bisa-bisa binasa. Biasa?
RUDY BADIL Wartawan Senior di Jakarta
Jamak kalau kera liar itu amat teritorial mengingat hutan gunung rimbun sepi di sekitaran kaki Gunung Pangrango di batas akhir Taman Nasional Gede-Pangrango dan Taman Safari Indonesia itu memang habitat asli, sekalian juga ”pekarangan” rumahnya untuk hidup, berkembang biak, serta sumber pakan alaminya. Owa tak berekor dengan tubuh langsing berbulu halus lebat kelabu keperakan pol-polan. Mukanya berkulit hitam pekat, macam topeng di kelilingi rambut kehitaman seram tetapi kocak. Gerak akrobatik gelayutan makhluk di pohon tinggi mungkin tak tertandingi makhluk lain di bumi ini, apalagi manusia biasa. Makanya, tak salah kalau Linnaeus, peneliti satwa, menyebutnya ”dewa yang berjalan di pucuk pohon” alias Hylobates moloch.
Si ”dewa” inilah yang disebut owa atau wau-wau, atau javan gibbon—gibon jawa yang memang hidup dan eksis di Pulau Jawa saja. Kemunculan owa moloch yang tidak berbahaya dari gunung sepi itu tiba-tiba menyentak perhatian dunia ilmu pengetahuan, selain petugas Pusat Penangkaran Owa Jawa-Taman Safari Indonesia (PPOJ-TSI) serta pimpinan TSI Jansen Manansang yang di tengah pagi dingin itu sudah siap-siap mau mengintip owa yang sulit dilihat mata telanjang.
Bernasib gawat
Majalah Time edisi 24 Januari 2000, halaman 44, memasang gambar sekaligus teks: Javan Gibbon-Home: Indonesia, population 300 to 400. It hangs on precariously in a handful of national parks on Java, one of the world’s most densely populated islands. Kera tak berekor bernama owa ini katanya bernasib gawat atau genting, precariously. Apalagi, kalau populasinya, sempat dinyatakan tinggal 300 sampai 400 ekor, itu sudah lampu kuning endangered, terancam. Tinggal menanti kerlip nyala lampu merah extinct, punah!
Namun, angka samar-samar sempat terucap dalam lokakarya ”Penyusunan Strategi dan Rencana Aksi Owa Jawa 2008-2018” bulan September 2008 di Bogor. Katanya, populasi owa jawa masih tersisa di kisaran angka 2.600 hingga 5.304 ekor lagi. Namun, angka itu masih belum pasti, seperti biasalah, karena tercekik dana penelitian yang cekak, hingga menyulitkan lembaga swadaya masyarakat meneliti tuntas di hutan Taman Nasional Ujungkulon, Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango (TNGP), Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, serta cagar alam di hutan-hutan Jawa Barat dan Jawa Tengah—khususnya di seputaran Gunung Selamet. Akan tetapi, yang jelas, langkanya owa itu bikin gunung pun kesepian dari hunian makhluk hidupnya.
Indonesia memiliki enam spesies (Hylobates syndactylus, H lar dan H agilis di Sumatera, H klosii di Pulau Mentawai, H moloch di Jawa, dan H muelleri di Kalimantan). Adapun di Asia Tenggara hanya ada tiga spesies dan subspesiesnya, seperti Hylobates hoolock di Myanmar, H concolor di Vietnam dan China, serta H pileatus di Thailand dan Kamboja).
Kera yang kedua tangan panjangnya berukuran 2,5 kali badannya, menurut Jansen, berdasarkan hasil lokakarya temu pakar primata tahun 2000 lalu, paling tidak masih tersisa sekitar 390 ekor lagi yang terobservasi. Primata loveable ini tersebar di 21 lokasi habitatnya di Jawa. ”Dari analisis populasi, diperkirakan owa itu 20 tahun lalu masih hidup sekitar 3.000 ekor,” kata Jansen.
Persebaran owa di Jawa memang terpusat di Jawa Barat. Populasi owa yang tersisa di Jateng mungkin terkonsentrasi di sekitaran Gunung Slamet. Umumnya, owa itu hidup berkelompok dalam suatu keluarga batih atau keluarga ”luas”—induk dan jantan berikut bayi dan anakan belum disapih, rata-rata berpopulasi antara 2 dan 4 ekor.
Jansen merasakan habitat owa kini sudah kian rusak. Habitat idealnya di hutan berketinggian 600-an meter di atas permukaan laut. ”Tidak mustahil owa itu terdesak, lalu hidup di hutan mendekati puncak gunung, misalnya ada kelompok owa di dekat puncak Gunung Gede-Pangrango. Di ketinggian sekitar 1.200 sampai 2.000-an meter,” ucapnya seraya memberi contoh masuknya keluarga owa liar sampai ke perbatasan hutan TSI. ”Mungkin kawasan TSI yang terjaga relatif lebih aman dan lebih sepi dibandingkan di alam liar yang kadang-kadang suka kemasukan penangkap satwa liar.”
Di tengah kegalauan ini, Jansen selaku Presiden South East Asia Zoological Association (SEAZA) masih melihat titik terang. ”Cuma sekitar 100 kilometer dari kota besar ramai Jakarta dan Bogor terbukti masih ada owa liar di habitat aslinya. Ini mengagumkan,” ujarnya yang memperkirakan kemungkinan perubahan perilaku hidup owa. ”Bisa saja mereka tertarik dengan kebisingan suara lengking calling delapan ekor owa PPOJ-TSI.”
Makhluk monogami
Musnah, itu kata yang sering terdengar untuk predikat satwa liar khas Indonesia. Owa sudah masuk kelas satwa liar Jawa yang terancam punah. Kera yang tinggi badan dewasa sekitar 80 sentimeter dalam suatu keluarga monogami rata-rata melahirkan bayi setelah dikandung 220-an hari. Sampai usia 3-4 bulan, bayi owa tetap melekat di perut induknya.
Usia matang seksual owa sekitar 6-7 tahun. Setelah itu owa remaja harus meninggalkan teritori induknya. Pergi mencari teritori baru sekalian cari pacar. Kalau ketemu jodoh, pasangan itu langsung kawin dan hidup sebagai pasutri owa liar dan beranak-pinak seenaknya. Kata peneliti, di kebun binatang, owa sebagai primata menyusui mampu hidup sampai umur 20-an tahun. Di alam bebas, seperti di sisa hutan primer TNGP, tingkat harapan hidupnya cuma belasan tahun, itu pun kalau tidak dibunuh pemangsa buas, termasuk manusia edan.
Sosok, perilaku, dan tata hidup kelompok owa sungguh menarik. Kepiawaiannya bergelayut (brachiating) dari dahan ke dahan di pucuk pohon tinggi serta kemampuannya mengeluarkan bunyi dan suara hut-hut-huoot atau calling membuat owa makin memikat untuk dijadikan bahan kajian konservasi.
Dari jumlah peneliti owa Indonesia yang sedikit itu, Jansen menyebutkan beberapa nama sudah bersepakat membentuk lembaga kajian owa. ”Tahun 1994 populasinya sekitar 400 ekor. Majalah Time menyebutkan antara 300 dan 400 ekor. Saya rasa jumlahnya mungkin sekitar itu. Tetapi, kalau ada peningkatan populasi seperti penelitian terakhir, ya itu mukjizat alami dan dunia konservasi harus senang dan bersyukur. Namun, pusat penangkaran kami tetap berusaha untuk menangkar owa jawa eks-situ secara prosedur ilmiah agar keturunannya dapat perlahan-lahan kami lepasliarkan di hutan gunung sepi di TNGP,” kata Jansen Manansang seraya mengutip rekomendasi lokakarya lalu, kalau owa jawa yang habitatnya sudah ancur-ancuran ini, nasibnya hanya bertahan apabila pemerintah berpihak mempertahankan sisa hutan yang habitat owa itu.
Dari mana awal pangkal upaya konservasi, termasuk aksi penyelamatan owa jawa ini, mungkin bikin bingung banyak orang. Sebab, di zaman ”hura-hura” reformasi dan demokrasi menjelang pemilihan Presiden RI 2009-2014 apakah masih ada segelintir masyarakat dan pejabat, sebagai makhluk nonpolitikus, sempat-sempatnya mikir-mikirin nasib owa yang hanya dianggap monyet. Ya EMP alias emang mereka pikirin. Jadi, biarkanlah binatang hutan itu hidup di alam kesepian kalau dia mampu. Kalau tidak bisa, bisa-bisa binasa. Biasa?
1 komentar
hai mas.. temenku juga ada yang peduli primata.. suka ngebahas tentang owa jawa juga..,
ReplyDeletehttp://eryemeb.wordpress.com/2008/09/25/owa-jawa-menantikan-rumah-baru/
oiah.. mas blognya aku link yah..,